Kita melihat dari sisi lainnya.

117 10 9
                                    


Selasa pagi di bulan November

Cuaca dingin yang terasa kelam; Hansol bangun dari tidur pulasnya. Melihat ke langit kamar yang terlihat redup dan di hiasi tempelan berbagai objek luar angkasa kesukaanya, lalu melirik ke arah jam yang menunjukkan pukul lima pagi dan lalu ia berfikir sepertinya orang rumah masih berkubang dalam mimpinya.

Ia menyenderkan badannya pada penyangga ranjang; melihat ke arah jendela yang tertutup rapat namun bias cahaya masih bisa di intip dari sini. Dengan selimut tebal ia menutup seluruh tubuhnya  lalu memeluk boneka biru berukuran sedang; terasa nyaman seperti pelukan seseorang.

Sekitar sepuluh menit ia ambil untuk menyegarkan pikiran dan raganya lalu mengambil posisi berdiri dan segera pergi untuk membersihkan diri. Selang beberapa menit ia merasakan sesuatu menaiki tenggorokkannya dan semua itu tumpah tanpa ia bisa cegah.

" Kalau begini terus, lama - lama tubuhku akan seperti tengkorak " gerutunya sebal.

Mungkin benar kata Seungkwan, ia tidak seharusnya terus belajar hingga melupakan jam makan, atau mungkin perkataan Chan yang mengatakan bahwa tak seharusnya berusaha keras dan masih bisa menikmati masa – masa bermain seperti remaja lainnya, atau fakta dimana tingkat stressnya sudah mulai meninggi.

Seperti sekarang, terkadang ia sering mendapatkan dirinya mengeluarkan makanan yang barusan ia makan beberapa menit lalu, atau mungkin hidungnya yang terkadang mengeluarkan darah. Tingkat stress yang ia rasakan sepertinya setara dengan keluhan pasien rumah sakit jiwa. Kalaupun ia, Hansol tak keberatan untuk tinggal disana untuk waktu yang lama.

Ia sedikit lelah dengan hidupnya.

Ketukan pintu ia dengar dan Hansol mematikan keran yang sedari tadi mengalir, tidak bersuara menunggu seseorang yang mengetuk itu untuk berbicara.

" Oppa neol gwenchana? " itu Sofia, adiknya.

" Ya, sebentar lagi aku selesai bisa tolong ambilkan seragamku yang di ranjang? " pinta Hansol.

Gadis berusia sepuluh tahun itu segera mengambil seragam Hansol, lalu mengetuk pintu berwarna putih dan tangan Hansol menerimanya.

" Kenapa belum sekolah? " Hansol bertanya dari dalam sana.

" Aku ingin berangkat bersama oppa saja " jawab Sofia sambil memainkan rambutnya.

.

.

.

" Oppa, bisakah kau mengikat rambutku? " pinta Sofia pada Hansol yang sudah keluar namun masih mengeringkan rambutnya dengan handuk.

" Kemarilah " Hansol menyuruh Sofia untuk duduk di kursi putih miliknya, berhadapan langsung dengan kaca besar di depannya.

" Kau ingin gaya rambut seperti apa? " tanya Hansol sambil menyisir rambut kecoklatan milik adiknya itu. Gadis yang memiliki mata berwarna hijau parakeet membuat pose berfikir lalu mengatakan bahwa ia minta rambutnya di kepang dan di jadikan pony tail.

Sewaktu kecil ia sering membantu ibunya untuk menjaga Sofia, juga bagaimana cara memasak dan mengurus adik perempuannya yang aktif ini. Terkadang tanpa bicara sekalipun kekuatan batin sepasang saudara sangatlah kuat.

Sofia memanggilnya dengan nada pelan sementara Hansol menjawab dengan gumaman singkat. Gadis itu sedikit ragu untuk mengungkapkan apa yang tengah ia fikirkan, namun Hansol sepertinya tidak masalah untuk menjawab kebingungan sang adik.

" Kapan oppa mengajak Seokmin oppa lagi kesini? " tanya Sofia.

Kegiatan Hansol pun terhenti karna pertanyaan sang adik. Menatap heran pada Sofia yang tengah menatap polos padanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 24, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Theory Of EveythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang