Bab Lima Belas : Mendekap Imaji

714 65 107
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam begitu sepi saat hanya dilewati seorang diri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam begitu sepi saat hanya dilewati seorang diri. Sembari berselimut letih, bersimbah perih.

Dengan gerakan melankolis, wanita muda itu menutup laptop-nya, membuat layar yang tadinya tegak sembilan-puluh derajat itu segera padam menjadi ketiadaan. Di sisi lain meja, ponselnya menyala, sementara jarinya yang lentik menggulir layar bosan. Halaman utama menjadi tampilan yang menguasai, sebelum berganti menjadi aplikasi pesan singkat, yang sebenarnya tak memiliki notifikasi dari siapapun. Ya, ponsel pribadi seorang Renaissance Ginevra memang semembosankan itu. Wanita sepertinya tak punya media sosial—tak sempat, dan tak peduli, sebenarnya.

Pekerjaannya sudah selesai sampai akhir pekan, bahkan hingga ke hal-hal terkecilnya. Dan sekarang, ia tak memiliki sesuatu yang bisa dikerjakan. Seakan teringat sesuatu, Renaissance kembali menyambar ponselnya dan menekan lama angka empat. Layar keypad segera digantikan menu dial, yang segera menghubungi nomor familier yang menjadi kontak yang paling sering dihubungi.

"Halo! Di sini Leonard Myers. Saat ini saya sedang tak tersedia, silakan meninggalkan pesan setelah—"

Blip.

"Aku tahu," gerutu Rena sembari menekan ikon merah untuk memutuskan telepon. "Aku tahu kau sedang tidak bisa dihubungi," desahnya lelah.

Leonard Myers tampaknya akan kembali terbang ke sisi lain dunia, melakukan pemotretan, seperti biasa. Kadang, Rena iri dengan bagaimana bebasnya pekerjaan pria itu. Bebas, bukan dalam artian tempat, bukan dalam artian Rena iri sepupunya itu bisa melancong ke manapun. Ia sendiri punya uang, punya pesawat pribadi, dan punya paspor, pergi ke negara lain bukanlah hal yang sulit untuk Rena.

Namun pria itu bebas karena memotret adalah jiwanya. Fotografi bukanlah suatu hal mutlak yang memiliki standar dan ekspetasi setinggi langit. Setiap sentuhan seorang fotografer akan berbeda, seperti seorang pelukis.

Seperti ... pelukis.

Renaissance memejamkan matanya dan dengan paksa mendepak pikirannya mulai melantur. Wanita berambut pirang tersebut segera mendorong kursi kerjanya dan melompat bangun dari balik meja. Sesaat kemudian, wanita itu sudah menelungkup di atas tempat tidurnya, terbenam di lapisan busa lembut dan selimut tebal yang menopangnya.

Talking To The Moon [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang