Bad Day Ever

86 7 0
                                    

"Mengapa ketakutan membuat kita seakan mati rasa? Mungkin karena rasa takut telah menghasut otak kita untuk berpikiran panik, bingung, putus asa, dan semua pikiran terburuk yang pernah kita alami."

44444444444444444444

Author POV

Selasa panas. Pengukur suhu di dalam kelas XI MIPA menunjukkan 30 derajat. Saat ini pelajaran Bahasa Indonesia sedang berlangsung dingin, mengapa dingjn? Karena Bu Diana sedang berbaik hati membiarkan kita jam kosong. Bu Diana baru saja izin keluar kelas untuk berurusan dengan salah satu wali murid yang datang ke sekolah.

Kelas yang tadinya ramai dengan ocehan berbau puisi dan macam-macamnya majas, kini berubah topik menjadi cowok-cowok ganteng dan murid-murid hitz yang sedang hangat-hangatnya digosipkan. Berbeda dengan golongan lelaki yang lebih memilih mabar (main bareng) dan berteriak-teriak heboh karena kalah.

Ada juga yang ke kantin, memanjakan perut-perut kosong sambil cari perhatian ke murid lain yang juga makan di kantin.

Lain halnya dengan kedua orang yang duduk di pojok dengan kertas dan bolpoin di tangannya. Mereka tampak serius menimang-nimang sesuatu.

Risya sesekali melihat ke luar jendela untuk meyakinkan pilihannya, sedangkan Tania sesekali mengganti lagu yang ia dengarkan melalui earphone.

"Lo udah pilih belum Sya?" Tania menengok ke kertas Risya yang sudah tak terlihat kosong.

"Udah sih, tapi gue bingung nih. Lo sendiri gimana?"

Tania menunjukkan kertasnya yang masih kosong, "nih belum nih, gue bingung mau ikut ekskul apa. Kelas sepuluh udah english conversation, kelas sebelas pingin yang alam-alam gitu, tapi gak yakin."

Risya hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu mereka melanjutkan berpikir tentang nasib ekstrakulikuler yang akan mereka dihadapi satu tahun ini.

Setelah akhirnya memilih minat masing-masing, Risya memilki ide untuk ke kantin, mumpung jam kosong nih, belum sarapan juga tadi pagi. Emang kenikmatan dunia banget; guru gak ngajar terus ngantin.

"Tan, gue pingin pangsit sama jus melon."

"Ayooo! Gak dari tadi lo ah!" Tania emang paling suka diajak ke kantin, selain doyan makan dia juga suka lihatin ibu-ibu masak, gak tau kenapa, kayanya sih Tania udah gak sabar pingin jadi ibu rumah tangga yang pintar masak.

Setelah membereskan semua peralatan tulisnya, mereka langsung cuss ke kantin, namun sebelum benar-benar sampai ke kantin yang berada di dekat ruang OSIS, mereka harus melewati rumah hijau yang saat ini sedang ramai-ramainya oleh kaum lelaki penggoda.

Risya dan Tania melewatinya dengan penuh kehati-hatian dan sebisa mungkin berjalan cepat. Malas berurusan dengan hal-hal semacam itu. Belum saja semenit berlalu, Risya dan Tania sudah mendapatkan cobaan yang membuat mereka semakin geram dengan lelaki-lelaki kurang kerjaan itu.

"Hai adek!"

"Eh, itu-tu guys, yang kemarin nangis cuma gara-gara cacing."

"Oh yang adek manis itu."

"Sini sama kakak dek, biar gak takut cacing lagi."

Risya mengabaikan semua ucapan-ucapan tidak penting itu, walau sebenarnya ia ingin berteriak kepada pelaku utamanya, siapa lagi kalau bukan Arsen si menyebalkan yang membuatnya malu di depan umum.

Tania lantas menggandeng Risya karena takut temannya itu akan terbawa emosi. Risya kadang bertingkah tidak tau tempat dan waktu, ia bisa saja melabrak Arsen terang-terangan di depan teman-temannya, oleh karena itu Tania berusaha melindungi Risya agar tidak berbuat macam-macam.

Gagal Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang