Terselamatkan

99 8 1
                                    

“Yang baik tak selalu terlihat, begitu juga dengan yang buruk. Jangan lupakan ada orang yang peduli padamu, walau tidak secara terang-terangan.”

55555555555555555

Author POV

Rasya memijat keningnya sembari menunduk, ia masih habis tidak pikir dengan adiknya. Sementara itu Risya hanya bisa duduk di pinggir ranjang sembari mengaitkan jari-jarinya agar ia tidak merasa canggung.

"Gue kemaren diwanti-wanti sama dia buat jagain jaketnya karena itu pemberian dari nyokapnya." Rasya akhirnya membuka suara, ia sebisa mungkin bersikap sabar untuk mencairkan suasana.

"Emang nyokapnya kenapa?"

"Dia itu brokenhome, kurang lebih udah dua tahun dia kaya gitu. Dia ikut bokapnya, adiknya ikut nyokapnya." Penjelasan Rasya semakin membuat Risya kicep. Ia bisa merasakan emosi yang dihadapi temannya Rasya, pasti kalau Risya menjadi anak itu, ia juga akan menjaga jaket pemberian ibunya.

"Terus gue harus gimana Bang? Apa gue beli yang baru aja ya." Risya beranjak dari duduknya dan berdiri sambil menatap kakaknya yang duduk itu.

Drrrt Drrrt Drrrt

"Mampus! Kayanya dia udah di bawah." Rasya memilih untuk tidak menerima telepon dari temannya itu, ia harus menyelesaikan masalah ini dengan baik. Baik bagi adiknya dan juga temannya.

"Gini aja dek, lo temuin dia terus jelasin semuanya. Lo ngomong jujur aja, gak usah takut, kalau emang dia marah atau gimana, entar baru gue yang jelasin secara personal." Risya mengangguk mendengar penjelasan kakaknya. Jujur saja, ia sangat takut akan menerima respon yang buruk, apalagi sejarah dibalik jaket itu sangat berharga. Risya takut!

Rasya sengaja tidak mengangkat teleponnya dan memilih untuk langsung membukakan pintu untuk temannya. Risya mengikuti kakaknya dengan perasaan campur aduk, ia memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.

Bagaimana kalau ia akan dimarahi habis-habisan? Bagaimana kalau ia tidak dimaafkan selama-lamanya? Bagaimana kalau ada konsekuensi lain, selain mengganti jaketnya?

Risya pusing dibuatnya. Sekarang ia hanya pasrah dan menerima semua yang akan terjadi. Lagipula ini semua karena kelalaian Risya yang lupa membawa tas jinjingnya saat di bus.

Sembari menunggu kakaknya membukakan pintu, ia menunggu di ruang tengah, ingatannya sudah merekam beberapa kalimat yang cocok digunakan untuk meminta maaf dan yang akan ia jadikan andalan adalah;
"Gue minta maaf banget sama lo, gue tau jaket itu berharga, tapi kemarin itu beneran gak sengaja, gue janji nyariin jaket lo sampai ketemu dan kalau lo minta untuk ganti rugi, gue bakalan tanggung jawab."

Risya melepaskan napasnya dengan berat setelah mengulangi kata-kata peminta maaf itu. Jantungnya berdegup semakin kencang ketika mengetahui kakaknya sudah kembali bersama seseorang yang masih melepas sepatunya di pintu.

Tiba-tiba Risya mendapati gerakan aneh dari kakaknya itu; Rasya menyuruhnya untuk masuk ke kamar. Risya awalnya bingung maksud dari kakaknya itu, namun setelah Rasya mengode-ngode melalui mata dan gerakan mulutnya, akhirnya Risya mengerti.

"Lo duduk aja dulu, Sen, tv-nya nyalaian aja kalau lo pengen lihat. Gue ke dalam sebentar." Rasya menunjuk sofa panjang yang besar di ruang tamu. Ia meninggalkan temannya-Arsen, untuk menemui Risya yang sudah ia suruh ke kamar.

Dengan perlahan, Rasya membuka pintu kamar adiknya yang berada di dekat dapur. Untung saja kamar itu tidak terlihat dari ruang tamu, sehingga Rasya bisa leluasa berbicara dengan Risya.

"Bang, kok gue disuruh masuk sih!?"

"Ssssttt..." Rasya meletakkan jari telunjuknya di hidung adiknya sebagai tanda menurunkan volume suara Risya yang cukup keras itu.

"Gini-gini, tadi kan gue sempet tanya tentang jaketnya, eh taunya dia kesini bukan buat ngambil jaket, dia kesini cuma mau main PS sama gue."

Risya melototkan matanya sembari menggerakkan mulutnya membentuk kata 'really' namun tanpa suara.

Sedangkan Rasya hanya tersenyum dan berpesan pada Risya agar tetap terlihat biasa saja saat ia menemui temannya itu.

"Btw, nama temen lo siapa Bang?"

"Arsen, kadang dipanggil Papang, soalnya nama panjang dia Arsen Pangestu."

Sejenak Risya membeku, ia tahu betul siapa orang yang disebut kakaknya itu. Otaknya mulai menyambungkan peristiwa-peristiwa yang kemarin ia alami dengan orang bernama Arsen itu.

"Gak mungkin...gak mungkin Arsen." Risya memegangi dahinya sembari menuju pintu kamar dan keluar begitu saja dari ruangan berukuran 4x6 itu.

"Sya lo mau ngapain?" Rasya berusaha menghalangi Risya namun langkahnya terhenti ketika mendapati Risya sedang mengintip di balik dinding pembatas antara ruang keluarga dan ruang tamu.

"Lo kenapa sih Sya?" Rasya berdiri di belakang Risya sembari mengikuti arah tatap Risya. Ia dapat melihat Arsen sedang memainkan ponselnya sembari tersenyum.

Risya tidak tahu harus berkata apa lagi. Banyak kata yang ia ingin ungkapkan, tapi ia tak kuasa mengungkapkannya. Mengapa dunianya begitu sempit. Sampai-sampai Risya harus bertemu orang yang sama, orang yang ia anggap menyebalkan, dan orang yang ingin Risya lenyapkan dari bumi ini selama-lamanya. Kenapa temannya Rasya harus Arsen? Kenapa ia harus berurusan dengan jaketnya Arsen?

"Nggak-nggak, gue nggak kenapa-napa." Risya memutar badannya 360 derajat hingga ia bertatapan dengan dada kakaknya, lantas ia berjalan dengan langkah cepat menuju kamarnya.

Rasya yang melihat itu hanya bisa mengedipkan bahunya sembari membatin, "apa jangan-jangan dia stres?"

Ketika Rasya hendak menuju dapur, sebuah suara menginterupsi langkahnya, "oh iya Bang, gue izin keluar, sebentar doang kok."

"Kemana?"

"Jalan-jalan."

"Iya kemana?"

"Belum tau, nurut kaki gue aja mau kemana."

Rasya terdiam, ia seketika membenarkan apa kata hatinya, "kayanya adek gue beneran stres deh."

"Gue pergi ya Bang." Tiba-tiba Rasya melihat adiknya yang sudah siap dengan sweater dan jogger pants sembari menenteng hp di tangan kanannya.

Tinggal satu tantangan Risya; melewati Arsen di ruang tamu. Pintu keluar dari rumahnya hanya satu, yaitu di depan, di antara ruang tamu dan teras. Jadi setiap orang yang masuk akan keluar melewati pintu yang sama.

Risya mempercepat langkahnya ketika melewati ruangan itu. Ia sama sekali tidak menghiraukan tamu kakaknya itu. Ia bersikap "masa bodo" dan secepat mungkin keluar dari rumahnya.

Sedangkan yang bertamu hanya menatap kepergian tuan rumah sembari tersenyum. Ia tahu siapa perempuan itu. Lebih tepatnya, ia tahu Risya bahkan sebelum Risya tahu dirinya.

555555555555555

Sorry for so late update 😔
Jangan lupa diklik bintangnya dan berikan komentar kalian 😙

To be continue 😉

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 06, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gagal Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang