happy reading
PART 8
Di pagi hari yang hening, Davian duduk di balik meja makan, menikmati segelas kopi hitam dengan asap yang masih mengepul.
Tiada suara apa pun selain suara samar kesibukan para pelayan yang mengerjakan tugas masing-masing.
Davian meraih kopi yang terhidang di atas meja makan, lalu menyesapnya pelan. Sekilas, mata Davian menangkap bentuk cincin yang kini melingkar di jari manisnya.
Ia meletakkan kembali gelas berisi kopi itu ke piring kecil di atas meja. Tangan yang satunya lagi terangkat mengelus cincin kawin yang kini menunjukkan statusnya.
Senyum samar terukir di bibir Davian saat terbayang sosok wanita muda yang kini menjadi istrinya dan kejutan yang ia dapat tadi malam.
Bagi Davian, hubungan intim di atas ranjang adalah sebuah kebutuhan dan keharusan. Ia menggauli Leana semata-mata untuk memenuhi kebutuhan biologisnya yang sudah sebulan ini tak tersalurkan—tepatnya sejak ia dicampakkan oleh Cerra. Dan karena ia bukan jenis laki-laki yang suka bermain-main dengan sembarang wanita, ia harus menyalurkan hasratnya lewat Leana.
Tapi sedikitpun Davian tak pernah menyangka, ia menjadi pria pertama dalam kehidupan seksual Leana.
Davian tak habis pikir, bagaimana mungkin wanita yang terlihat modern dan tinggal di kota metropolitan, masih perawan di usia dua puluh lima?
Davian merasa bangga, tentu saja. Dulu saat ia pertama kali berhubungan dengan Cerra, wanita itu sudah tidak gadis lagi. Davian bahkan tidak berani bertanya ia pria ke berapa dalam kehidupan ranjang Cerra. Baginya yang penting cintanya dan Cerra terus bersemi.
Davian mengerut kening. Apa yang membuat Leana masih perawan di usianya yang sudah dewasa? Apakah istrinya itu menganut prinsip—yang menurut Davian—kuno, yang hanya akan melepaskan keperawanannya di malam pengantin?
Ponsel yang tiba-tiba berdering membuyarkan lamunan Davian. Ia melirik ponsel canggih nan mahal miliknya yang tergeletak di atas meja makan.
Cerra memanggil...
Davian menyeringai sinis. Wanita itu pasti sudah mendengar berita pernikahannya. Davian sengaja tidak mengundang-nya. Ia ingin Cerra tahu tentang pernikahannya dari bibir orang lain dan merasa terhina karena tidak diacuhkan.
Davian menyentuh tanda menerima panggilan. "Hello, selamat pagi..." sapa Davian berusaha sesantai mungkin. Sebulan sudah hubungannya dan Cerra berakhir, hari ini adalah kali pertama mereka berkomunikasi. Selama ini Davian tak pernah berusaha menghubungi Cerra. Bukan tak mau, hanya menahan diri. Mau di letak di mana harga dirinya sebagai laki-laki jika ia mengemis pada kekasih yang sudah mengkhianatinya?
"Davian! Kau menikah?? Bagaimana mungkin??"
Suara teriakan Cerra menggelegar memecah keheningan pagi, membuat Davian seketika menjauhkan ponsel dari telinganya sejenak. "Kenapa tidak mungkin?" Davian balik bertanya dengan seringai sinis masih melengkung di wajah. Ia sama sekali tidak menduga akan mendapat telepon dari Cerra pagi ini, dengan reaksi yang tak terduga pula.
"Kau!! Baru sebulan hubungan kita berakhir, dan kau sudah menikah?!"
Untuk pertama kalinya sejak dicampakan oleh Cerra, Davian bisa menyeringai lebar dengan hati lega. Ia puas mendengar suara Cerra yang tergagap histeris, seolah tidak percaya dengan kenyataan yang ia terima pagi ini. "Memangnya aku harus menunggu berapa lama baru boleh menikah, Cerra?"
Hening. Tidak ada respons dari ujung sana.
"Hubungan kita sudah berakhir, bukan? Dan aku berhak menentukan hidupku. Kau bukan satu-satunya wanita di dunia ini!"
Davian memutuskan panggilan sepihak. Ia menyeringai puas sambil menatap ponsel di tangannya.
Respons Cerra pagi ini menunjukkan bahwa wanita itu ternyata masih peduli padanya. Atau Cerra merasa terhina? Tidak menduga bahwa Davian akan menikah dengan wanita lain secepat ini? Bahwa hanya butuh waktu satu bulan untuk Davian melupakan dan mendapatkan penggantinya?
Wajah Davian menggelap. Andai saja Cerra tahu, hatinya yang luka masih berdarah. Masih menyisakan rasa sakit yang menyiksa. Davian belum melupakan kisah cinta mereka!
"Ehm!"
Suara dehaman halus membuyarkan lamunan Davian.
"Selamat pagi," sapa Leana sambil melangkah memasuki ruang makan.
Davian mengangkat wajah. Sesosok cantik dengan gaun tidur sedikit menerawang dan rambut yang dijepit asal-asalan, melangkah mendekat.
"Selamat pagi," balas Davian dengan senyum tipis dan sedikit hangat—mungkin manifestasi dari rasa puasnya menerima respons Cerra yang tak terduga. Sudah sebulan ini kegagalan cinta membuat ia selalu bersikap dingin. Namun pagi ini Davian merasa sedikit lebih baik setelah mengetahui respons Cerra akan pernikahannya.
Davian menatap wajah polos di depannya, yang meski tanpa riasan, masih terlihat cantik. Ke mana saja ia selama ini? Sekian tahun Cerra menjadi pusat dunianya, membuat ia rabun akan kecantikan wanita lain.
"Maaf aku lambat bangun. Seharusnya aku yang membuat kopi untukmu," ucap Leana sambil menyunggingkan senyum manis. Ia menarik kursi di dekat Davian dan duduk di sana.
Davian tersenyum samar. "Kau masih punya kesempatan besok pagi dan pagi-pagi seterusnya."
Senyum Leana melebar. "Semoga saja besok pagi dan seterusnya aku bisa bangun lebih dulu darimu. Kau tahu, sangat sulit untukku bangun awal." Tangan Leana terangkat untuk meraih gelas dan teko berisi teh panas yang sudah tersedia di atas meja.
Pada saat yang sama Davian juga meraih teko, berniat membantu Leana menuangkan teh.
Tangan keduanya bersentuhan. Leana mengangkat wajah membuat mata mereka beradu.
Waktu seolah terhenti. Tatapan keduanya terkunci. Davian menatap mata cokelat terang Leana yang bersinar indah, memukau siapapun yang menatapnya.
Leana juga menatap Davian dalam kebisuan yang mengantarkan desiran-desiran halus ke seluruh tubuh.
Ponsel Davian yang kembali berdering, mengusik keterpa-naan keduanya.
Davian menarik tangannya dan melirik sejenak pada layar ponselnya.
Cerra memanggil...
Davian segera menolak panggilan masuk dari Cerra, lalu menonaktifkan ponselnya. Ia tidak mau menerima panggilan Cerra di depan Leana. Bagaimanapun, Leana tidak tahu tentang Cerra, dan Davian tidak mau merusak pagi setelah malam pengantinnya dengan harus menjelaskan semua tentang Cerra dan alasan ia bersedia menjadi mempelai pengganti. Akan tiba waktunya nanti untuk Davian menjelaskan semuanya. Tapi tidak sekarang. Tidak saat ia sedang berusaha membalut lukanya.
Leana menuang teh ke dalam gelas, lalu menyesapnya pelan.
"Jadi apa kegiatan kita hari ini?"
"Eh?" Leana mengangkat wajah, menatap Davian penuh tanya dengan wajah merona.
Davian tersenyum samar. Mungkin pertanyaannya terdengar mengandung maksud lain untuk telinga Leana yang baru melewatkan malam penuh gairah untuk pertama kali tadi malam. "Apa kegiatan kita hari ini? Apa cukup di rumah saja atau kau ingin melakukan sesuatu? Berjalan-jalan, mungkin? Besok aku sudah kembali bekerja."
"Oh..." Leana meraih roti tawar pandan dan mengolesnya dengan selai kacang. "Aku tidak punya rencana apa-apa. Tapi jika kau tidak keberatan, aku ingin berkunjung ke rumah orangtuaku untuk mengambil beberapa barang-barangku."
Davian mengangguk. "Tentu saja aku tidak keberatan, Leana."
***
Bersambung...
jangan lupa komen n vote ya. thank you dear
Love,
Evathink
Repost, 9 maret 2019
![](https://img.wattpad.com/cover/110740215-288-k707594.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Terperangkap Dendam dan Cinta [Tamat]
Roman d'amour[Sebagian part sudah di unpublish!] *Dark Marriage series #1 Sipnosis : Davian menikahi Leana hanya untuk menunjukkan pada Cerra-kekasihnya yang berpaling-bahwa ia tidak terpuruk dan mampu menemukan wanita lain yang jauh lebih baik. Leana menikah de...