P R O L O G

1.2K 99 10
                                    

Hidup di kota besar kata orang-orang itu enak. Makanan melimpah, pekerjaan mudah, dan uang berlipat ganda dengan mudahnya. Katanya, tinggal di kota besar itu serba mudah. Segala jenis transportasi tersedia mulai dari bus, taksi, trem, sampai subway. Katanya lagi, tinggal di kota urban seperti New York City ini membuat penduduknya lupa daratan, terlena dengan kemewahan dan akses mudah yang disediakan sang kota urban.

Tinggal di kota urban bagaikan membuka kotak Pandora—indah di luar, mengerikan setelah dibuka.

Dilema para penduduk urban...

Sebuah kisah kehidupan sosialita dengan segala gemerlapnya.

Tak semua orang bisa menikmati secara maksimal kehidupan yang disediakan New York City. Lihatlah pengemis itu. Sepanjang hari hanya duduk di sudut terkotor subway dan menatap nanar para pekerja yang berlalu lalang mengejar kereta. Dia tak bisa kemana-mana karena tak punya uang. Harapan terakhirnya untuk bisa mempertahankan posisinya adalah kebaikan hati para petugas keamanan subway.

Tapi, aku tidak bernasib seperti mereka.

Hidup mewah dengan segala kenikmatan duniawi.

Hidupku adalah sebuah penggambaran sempurna kehidupan New York.

Bayangkan. Aku adalah seorang arsitek di biro arsitektur terkenal New York. Setiap hari, aku harus berkutat dengan segala lembar blue-print denah, potongan, dan tampak. Hampir setiap hari pula aku harus membuat janji dengan klien untuk makan di restoran mahal, kafe dengan kopi terenak, serta lounge dengan pertunjukan musik musisi terbaik. Segalanya yang terbaik untuk klien yang rela merogoh uang lebih demi keindahan desain dan keunggulan struktur. Pekerjaanku bukanlah pekerjaan mudah. Pekerjaanku membutuhkan komitmen, imajinasi tanpa batas, pengetahuan luas.

Pekerjaanku adalah bidang kreatif; tanpa batas dan imajinatif. Segala yang tak mungkin menjadi mungkin bagi kami, para arsitek.

Pekerjaanku menyita waktu; membuat kantung mata menghitam dan konsumsi kopi meningkat—terutama ketika deadline menyerang.

Pekerjaanku adalah garis tipis yang memisahkan antara pekerja keras dengan hidup mewah bertabur barang mahal dan pelayanan kelas satu.

Diceritakan dari sudut pandang seorang pemuda Korean.

Bekerja sebagai arsitek bukanlah pekerjaan yang murah, bahkan sejak menimba ilmu di universitas. Harga kertas, bahan maket, belum lagi buku-buku tebal nan berat untuk mendukung segala impian tinggi melambung tidaklah murah. Belum lagi harga cetak denah, potongan, dan tampak dalam kertas-kertas ukuran besar—paling apes kalau harus mencetak ukuran A0 atau bahkan tak terukur dengan ukuran kertas internasional. Oh. Sudahkah kusebutkan bahwa ongkos untuk bolak-balik survey site di masa kuliah itu juga tidak murah? Apalagi dosenku waktu itu sangat teliti. Dia benci dengan preseden yang main comot dari internet dan buku. Ia mau data asli, survey langsung ke preseden, dimana pun si preseden berada.

Menginjakkan kaki ke dunia arsitektur membuatku harus merogoh uang lebih banyak lagi. Bukan sekedar uang lebih demi pekerjaan, tapi juga penampilan.

Pekerja di bidang desain—terutama arsitektur dan interior—adalah pekerjaan yang menuntut pekerjanya untuk terus sadar diri akan penampilan. Kau tak akan pernah menemukan arsitek berpakaian buruk. Mereka selalu tampil rapi, profesional, dan menarik. Meski tidak berjas lengkap seperti para pengacara di firma hukum atau para CEO serta petinggi perusahaan bisnis lainnya, kami para arsitek mempunyai standar berpakaian berbeda, tapi sama mewahnya dengan mereka.

Sebenarnya bisa saja aku membeli pakaian bagus di toko pakaian barang bekas atau garage sale di perumahan elit sub urban New York. Tapi, aku sudah terbiasa untuk melenggang keluar masuk toko-toko bergengsi dengan nama mentereng. Sebut saja Armani, Gucci, DnG, dan masih banyak merk internasional berharga mahal lainnya.

Kenapa? Karena bagiku, kualitas terbaik datang dari merk terbaik. Sama seperti material bangunan.

Sialnya, biaya untuk mendapatkan itu semua tidak mudah didapat.

Kehidupan seorang pekerja keras sekaligus penikmat hidup.

Butuh perjalanan berat bagi seorang arsitek bersama bironya untuk mendapatkan tender proyek. Kami harus bersaing desain sekaligus harga dengan biro-biro lainnya, saling mengajukan ide dan saling menjegal sesama arsitek. Tenang. Saling jegal di dunia arsitektur tidak sekotor di dunia politik. Kami menjegal dengan otak, kemampuan, dan teknologi, bukan dengan uang suap. Meski kadang aku mendengar berita menyebalkan tentang kasus suap, nepotisme, dan kecurangan lainnya dalam proses perebutan tender, tapi aku tidak terlalu ambil pusing dengan itu.

Kalau berhasil dipilih klien, biro akan sibuk dalam beberapa minggu—atau kadang hitungan bulan dan tahun—ke depan, sibuk mematangkan dan merealisasikan ide demi sang klien.

Kalau gagal, biro tidak mendapat pekerjaan dan harus mencari proyek atau sayembara lainnya. Kalau sudah begini, itu berarti arsiteknya kembali menganggur tanpa uang.

Kadang, menjadi arsitek itu bagaikan seorang penyanyi dalam hal gaji. Bayaran kami tergantung dari berapa banyak proyek yang berhasil kami dapatkan. Bila tak ada, ya tak ada uang. Namun saat mendapatkan proyek besar, bayarannya juga tak tanggung-tanggung.

Itulah sebabnya aku selalu hidup di ujung tombak.

Diceritakan dalam satu fragmen kehidupannya yang paling dramatis.

Pengeluaranku per-bulan terlalu besar, bahkan nyaris menginjak angka ratusan ribu dolar. Itu baru pengeluaran harian yang rutin seperti makan dan biaya transportasi. Makanku setiap harinya mahal karena aku hidup sendiri dan kemampuan memasakku nol. Aku selalu membeli makan atau makan di restoran bersama teman-temanku. Harus restoran mahal, karena ego-ku masih belum mengizinkan mulut untuk menawari restoran murahan kepada teman-temanku sesama arsitek atau pebisnis muda. Bisa dicemooh dan disangka miskin nanti.

Flat-ku yang terletak di pusat kota memiliki perawatan yang tidak murah. Harga listrik, gas, dan air yang harus kubayar tiap bulannya terbilang mahal. Belum lagi aku selalu rutin berbelanja di toko-toko mahal yang telah kusebutkan barusan demi memperbaharui isi walking closet-ku. Jangan lupakan juga produk perawatan kulit dan rambut yang sengaja kubeli mahal demi menyegarkan kembali tubuh dari udara kotor New York.

Pengeluaran sebesar itu kadang tidak diimbangi dengan pemasukan yang setimpal.

Sebenarnya aku bisa saja menabung. Saat menerima gaji dari satu proyek, aku biasanya langsung memilah-milah kebutuhan. Tapi, rentengan kartu kredit di dompetku selalu menggoda untuk digesek, digesek, dan terus digesek. Sampai akhirnya, gajiku habis hanya dalam hitungan hari.

Ya. Kartu kredit itu memang setan dari segala setan yang berada di bumi.

Belum lagi, setiap malam kalau tak dikejar deadline, aku selalu pergi dengan teman-temanku sesama gay untuk berpesta pora di klub-klub paling bergengsi New York.

Oh. Aku lupa menyebutkan kalau aku gay, ya? Yep. I'm gay. I'm gay and I'm proud of it.

Dan harus kukatakan dari sekarang bahwa kehidupan sebagai lelaki gay metrosexual dengan profesi arsitek adalah kehidupan yang tidak murah.

Sebuah kisah kehidupan gay dalam gemerlap kota urban dan hedonisme.

♣♣♣

A CommitmentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang