Sudah lebih dari sebulan sejak aku bertemu dengan Kris Wu. Yep, itu nama lengkapnya. Rupanya laki-laki itu bukan laki-laki sembarangan. Dia seorang pengacara muda yang disegani dari sebuah firma hukum yang tak kalah menterengnya dengan nama biroku. Dia sudah sering menangani kasus, mulai dari kasus pidana sederhana sampai kasus rumit macam kasus suap di partai politik baru-baru ini. Dia sama seperti pria-pria lain yang kutemui: punya nama besar, uang banyak, dan wajah tampan.
Tapi, entah kenapa aku merasa ada yang lain saat berada di dekatnya.
Aku selalu bisa menebak apa yang diinginkan setiap laki-laki yang mendekatiku. Kalau bukan ciuman mesra di bibir, blowjob di sudut ruangan, ya seks panas di kediaman mewah mereka. Meski mereka tidak langsung menyeretku ke sudut terpencil dan menggarapku langsung di sana layaknya seorang pelacur murahan yang mereka ambil di pinggir jalan, aku tetap merasa ada yang berbeda dari pria ini.
Apa karena pendekatannya yang lambat? Tidak juga. Malam pertama aku bertemu dengannya bukankah berakhir di tempat tidur, kelelahan setelah seks? Apa yang membuatku tak bisa melupakan namanya setelah pertemuan kedua kami? Aku bahkan mulai lupa nama seorang anggota senat New York. Mungkin kalau dia sedang berorasi di televisi, aku akan ingat. Aku juga sudah lupa dengan sosok seorang pebisnis perusahaan minyak terkemuka. Butuh lima sampai tujuh kali kontak untuk aku bisa mengingat nama mereka.
Dan pengacara ini sudah bisa membiusku dalam waktu dua hari, menggerogoti pikiranku dan memenuhinya dengan senyum tipis penuh kebanggaan. Dia juga memenuhi penciumanku dengan aroma musk dan cerutu Kuba yang selalu ia hisap. Jemariku tak bisa melupakan bagaimana lembutnya warna pirang rambutnya. Mulutku juga tak bosan-bosannya melafalkan namanya—dalam jeritan penuh ekstasi maupun bisik seduktif.
Selama ini aku yang menjadi candu bagi pria-pria itu. Tapi, kenapa sekarang...
"Itu namanya karma, bodoh."
Aku mendelik tajam ke arah pemuda berambut hitam ikal—hampir sama dengan rambutku—yang sedang berbaring menelungkup di atas massage table. Wajahnya sedikit tak terlihat karena terhalangi oleh bantalan peyangga kepala yang built-in dengan meja pembaringannya.
"Karma apanya. Sembarangan saja kau ini!" gerutuku kesal dan kembali menenggelamkan kepalaku ke bantal berlubang, menikmati pijatan lembut di punggung kiriku. "Kau mengada-ada, Lay! Bilang saja kau iri karena aku menyukai laki-laki lain."
Lay—roommate-ku semasa kuliah—mengerang kesal sambil memutar kedua bola matanya. Dari dulu dia paling benci kalau digosipkan denganku. Hubungan kami dulu semasa kuliah memang cukup dekat—teman satu jurusan sekaligus
roommate—dan orientasi seksualku membuat orang-orang mengira kami sepasang kekasih. Tentu saja itu semua omong kosong. Lay lebih seperti adik kecilku, bocah berpikiran kritis yang kadang bisa berubah menjadi imbisil
annoying dalam satu kedipan mata. Dia sahabatku yang nomer satu.Oh, satu lagi alasan kenapa Lay sangat tidak menyukai gosip miring seputar kami berdua: dia straight, sejak seumur hidupnya. Lurus, selurus particle board. Kecuali kalau basah terkena air...
"Kau yang terlalu sering mempermainkan perasaan orang jadinya malah merasakan kegalauan yang sama seperti yang dirasakan laki-laki itu, kan." kata Lay. Kali ini, ia tertawa kecil setelah omongannya. "Oke. Kalau kau tidak mau disebut sebagai karma, aku sebut ini sebagai... kualat!"
Aku mendelik tajam ke arah Lay—cukup sulit, mengingat jarak pandangku yang terhalangi oleh bantalan empuk di sekitar kepalaku—dan mendesis, "Diam saja kau, brengsek! Mengakunya sebagai sahabatku, tapi tingkahmu itu seperti musuhku saja..."
"Hei, justru sahabat yang selalu mengutarakan omongan paling benar dan paling jujur kepada temannya. Omongan paling jujur itu keluarnya dari sahabat terdekatmu!" ujar Lay sambil tertawa.

KAMU SEDANG MEMBACA
A Commitment
Fanfiction[KrisHun - COMPLETE] Sebuah kisah hidup seorang Oh Sehun dalam gemerlap kota urban dan hedonisme yang penuh dengan kemewahan dan kenikmatan duniawi. Menjadi seorang gay yang banyak mengecap pahit manis gemerlap New York, tidak berminat menjalin ikat...