Chapter 1

1K 83 26
                                    

Gay, metroseksual, dan arsitek.

Satu kata saja sudah cukup menguras uang, apalagi tiga. Hidup sebagai arsitek dituntut rapi, menarik, dan selalu berurusan dengan tren paling hip yang ada saat ini. Hidup sebagai pria metroseksual juga tak kalah mahalnya dengan perawatan tubuh terbaik dan harus dilakukan rutin. Lalu gay adalah icing sempurna— cherry on top —untuk membuat pengeluaranku membengkak berlipat-lipat.

Orang brengsek yang bilang gay itu hidupnya mudah. Hidup sebagai gay itu susah. Aku cukup beruntung bisa hidup di kota yang mengakui persamaan hak kaum gay seperti New York. Bayangkan kalau aku masih di negara kelahiranku. Bisa-bisa aku dimutilasi dengan tuduhan macam-macam hanya sekedar menunjukkan ketertarikan pada sesama jenis.

Tapi, sebelumnya...

Aku ada di mana sekarang?

Tempat tidur ini bukan tempat tidurku. Kamar ini juga bukan warna kamarku—aku benci warna putih bersih yang kelewat sederhana begini. Sialnya, aku tak terlalu ingat dengan siapa saja aku berinteraksi tadi malam di Ordo. Yang aku ingat, Henry menyodorkanku bergelas-gelas gin and tonic, satu shot tequila, dan silver bullet yang sengaja kupesan pada bartender. Lalu, dia menyeretku ke dance floor dan—

Sebentar. Aku bisa merasakan seseorang bergerak di belakang punggungku. Saat yang bersamaan pula aku merasakan lengan kekar melingkar di pinggangku, menarik tubuhku yang ramping ini semakin dekat dengan tubuhnya. Hembusan napas berat yang menyapu tengkuk membuatku teringat dengan sosok seorang pria berumur tiga puluhan—sepuluh tahun lebih tua dariku—dengan rambut pirang dan mata biru cemerlang. Napas dan tubuhnya bau asap rokok—walau aku ingat betul dia mengaku menghisap cerutu dan tak mau disamakan dengan perokok pada umumnya—sementara suara beratnya menuturkan kata-kata rapi tersusun yang begitu hati-hati.

Tapi, aku masih lupa siapa namanya...

"Mmh... Kau sudah bangun, Willis?"

Dammit. Aku benar-benar harus ingat namanya. Sekarang.

Dari dulu, lupa nama memang sudah menjadi kebiasaan burukku. Aku hanya mengingat wajah, tapi selalu melupakan namanya. Sebetulnya tidak menjadi masalah kalau aku lupa dengan namanya. Toh, ini hanya sekedar one night stand yang digerakkan atas dasar nafsu dan alkohol tadi malam—tak kurang dan tak lebih. Ditinggal sehari juga paling orang ini sudah lupa namaku.

Aku membalikkan tubuhku untuk melihat siapa yang tadi malam berhubungan intim denganku. Sesaat, napasku tercekat melihat sosok pria—tentu lebih tua dariku beberapa tahun—yang terbaring di belakangku. Dia... bagaimana mendeskripsikannya, ya? Tampan? Ya. Dia sangat tampan. Tapi, ini bukan kali pertamanya aku menghabiskan malam dengan pria tampan lainnya. Justru malah semua lelaki yang berhubungan seks denganku mempunyai paras yang rupawan. Tapi, aku merasakan ada yang lebih dari laki-laki ini. Sesuatu yang... Ah, aku tak tahu aku ini sedang meracau apa.

Aku tersenyum kecil lalu menyentuh pipi sang pria pirang—aku berani sumpah kalau tadi malam rambutnya sedikit panjang, tapi ternyata aku salah. Potongan yang pas—ada sedikit bulu halus di dagunya. "Kau harus cukur." bisikku dengan nada rendah.

Pria yang namanya masih misterius itu tidak membalas omonganku dan malah mencium bibirku. Tangannya kembali meraba ke balik selimut putih tipis yang menutupi kami berdua. Aku bisa merasakan tangannya yang besar dan kekar meraba dadaku lalu turun meremas kedua bokongku. Ia menarik tubuhku yang lebih kecil darinya mendekat, seolah-olah dia tak mau aku pergi.

Aku mengeluarkan gumaman tak jelas, mempertanyakan waktu saat ini. Sialnya pria besar ini masih melumat bibirku sambil terus meraba seluruh tubuhku. Sekilas aku melihat jam yang tertera pada alarm di samping tempat tidur.

A CommitmentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang