Kalian tahu apa yang ku benci dari hari Senin? Tentu saja karena mata kuliah yang sedang kuhindari, hukum bisnis. Eittss jangan berpikiran negatif dulu! Sebenarnya aku sih nggak ada dendam pribadi sama materinya, tapi dosennya itu loh! Aduuuh, bikin kelas serasa di neraka.
Ucapanku itu bukan tanpa alasan, buktinya sekarang saja aku malah nangkring santai di kantin ketimbang masuk kelas dan mendengarkan suara infrasonik dosen aneh itu. Memang sih rupanya yang ganteng itu nggak bikin kelas serasa suntuk untuk cewek-cewek berotak kosong yang hobi ngekor dosen itu kemana-mana, tetapi hal itu tidak mempan untukku! Aku ini adalah seorang pekerja keras yang tak masalah dengan bagaimanapun tampang dosenku. Aku justru lebih suka dosen yang biasa biasa aja ketimbang dia yang wajah dan tubuhnya udah kayak model Calvin Klein tapi nerangin aja kayak ngobrol sama papan tulis.
Sebenarnya untuk nilai ujian bukan hal berat bagiku karena aku memang suka belajar sendiri ketimbang mendengar penjelasan dosen. Satu semester kemarin aku sudah terbiasa belajar mandiri karena dosen sebelumnya lebih suka membicarakan tas mewah seperti keluaran Gucci, Prada, Louis Vuitton dan kawannya (yang katanya dibelikan suaminya yang bekerja sebagai pejabat Kementerian Luar Negeri) ketimbang mengajar. Tapi dia bukan dosen yang rewel soal apa yang dilakukan mahasiswanya di dalam kelas selama mengoceh ria, jadilah aku belajar sendiri dengan menyumbat telingaku menggunakan earphone.
Lalu dosen matre itu tiba-tia berhenti mengajar karena mengikuti suaminya yang nomaden. Dan entah bagaimana ceritanya, Pak Vian, dosen menyebalkan itu kini menggantikan dosen sebelumnya dan hobi sekali setor muka di kelasku.
Awalnya aku senang sekali saat beliau menggantikan Bu Cantik (namanya memang begitu). Namun sekarang aku sadar bahwa Bu Cantik JAUH lebih baik dibanding dosen killer ini.
Pertama, suaranya itu keciiil sekali. Bahkan untukku yang langganan duduk di bangku paling depan. Kalau dia sedang baik, dia menulis materi yang dia terangkan di papan tulis, dan kami bisa menyalin dengan tenang. Tapi kalau dia sedang ada di fase menyebalkan, dia hanya akan berkoar-koar tidak jelas (tidak jelas karena suaranya kecil sekali) dan aku lanjut ke mata kuliah berikutnya dengan otak kosong.
Kedua, dosen itu akan marah besar saat ada mahasiswa yang tak memperhatikannya. Beberapa temanku yang suka ketiduran ketika dia sedang berbicara pernah kena amuk olehnya seperti dilempar spidol, dijewer, dicoret namanya dari daftar kehadiran, dan yang paling parah adalah AKU! Dia menyuruhku berdiri di depan kelas sambil mengangkat kedua tanganku dan sebelah kakiku (padahal aku sedang belajar sendiri sambil mendengarkan musik klasik!). Tentu bukan salah kami kalau melenceng dari fokus karena suaranya yang bikin ngantuk itu. Sudah bagus kalau aku masih tetap belajar dan tidak molor saat dia sedang mengajar.
Ketiga, dia itu ganjen dan terlalu kelihatan benci padaku. Sebenarnya aku selalu merasa kalau Pak Vian suka sekali mendekati mahasiswi paling pintar atau mahasiswi paling cantik di kelas kami hanya untuk sekedar berbincang lalu cekikikan ketika yang lain sibuk mencatat. Mumpung aku ini bukan yang paling pintar dan paling cantik (bukan berarti aku jelek dan bodoh loh ya!), aku selalu aman dari incarannya. Tapi anehnya ketika dia menerangkan di depan kelas, matanya selalu tertuju padaku. Dengan mata yang licik dan senyum yang lebih mirip dengan seringai. Aku tak mengada-ada, dan karena itu pula aku merasa kalau dia memang benar membenci aku.
Karena itu, frekuensi kehadiranku di mata kuliahnya bisa dihitung jari (mungkin di lembar daftar kehadiran namaku sudah dicoret dengan spidol permanen). Dan kemalasanku itu hanya berlaku hanya pada mata kuliahnya. Di mata kuliah lain, tentu aku adalah anak paling rajin dan paling disayang dosen.
Sekarang aku terdampar di kantin dengan beberapa bungkus makanan ringan di hadapanku. Dengan penampilan seperti ini, orang-orang pasti mengira aku adalah gelandangan dibanding mahasiswi. Senyumku kembali saat Sarah yang baru datang duduk manis dihadapanku.
"Lo kayak pengangguran belom dapet kerjaan tau gak?!" Serunya.
"Hehe, yaa mau bagaimana lagi? Sekarang kan masih jam matkulnya si iblis!"
Sekedar informasi saja, iblis adalah panggilan spesialku pada Pak Vian. Tujuannya sih kalau aku dan Sarah sedang bergosip ria tentang dia, orang-orang (atau bahkan dia yang kami gosipin) tak akan sadar. Kan gak lucu banget kalau aku mengosipkan Pak Vian dan orangnya langsung muncul karena merasa namanya dipanggil.
"Pindah jurusan aja, gih!"
Aku menjitak kepalanya, "Jurusan ini jurusan yang paling gue idam-idamkan! Kan aneh kalo gue ngelepas impian gue cuma karena seuprit kutu macem iblis!"
Sarah tertawa, lalu tangannya mengambil sebungkus camilanku. Reflek aku memukul tangannya, "Beli sana!"
Sarah cemberut, tapi tetap membuka bungkus camilan itu. "Kalo dipikir-pikir, si iblis itu seksi juga."
Aku nyaris menyemburkan apa yang ada di dalam mulutku.
"Seksi dari hongkong?! Adam Levine noh seksi! Bukan si iblis!"
"Yaa Adam Levine mah emang seksi," jawab Sarah "Tapi yang ini juga gak kalah seksi. Coba lo liat aja mukanya yang ganteng banget itu! O-oh iya, lo perhatiin bahu sama lengannya nggak? Gilaaa keliatan banget dia badannya atletis!"
Aku memasang muka mau muntah, "Terserah lo deh, Sar. Kalo doyan ambil aja sana, gue gak butuh."
Wajah Sarah berubah jahil, "Yakin nih gak butuh?"
"Selama diluar dari konteks nilai, gue gak butuh."
Senyum Sarah makin aneh, "Nanti kalo dia malah jadinya sama orang lain, lo jangan nyesel ya."
"Gak akan! Gue gak akan nyesel!"
"Okay, calm girl. Gak perlu sampe ngegas gitu," kata Sarah "Btw abis ini lo masih mau kuliah nggak?"
Aku menggeleng. Entah ada angin apa, mendadak semua dosen berhalangan hadir (tentu si iblis itu dikecualikan).
"Gue balik aja. Sampe ketemu besok!"
***
Aku melenggang santai memasuki ruang kelasku. Niatku untuk pulang dan tidur seharian digagalkan oleh sms yang dikirim teman sekelasku yang kupret, Ezra. Kulihat cowok itu sedang fokus mengetik sesuatu di laptopnya.
"Lo ini emang suka banget nyiksa temen ya?" Tanyaku. Dia mengadahkan kepalanya, dan menatapku.
"Kemana aja lo?"
Aku duduk manis disebelahnya, "Seperti biasa."
Dia menggelengkan kepalanya dan tersenyum, "Gila lo, ra. Kalo gini terus bisa-bisa lo di DO."
"Berisik banget sih lo kayak emak emak pms."
"Yeee lo kali yang lagi pms."
"Berisik! Muka lo yang gak seberapa itu belom pernah kena tonjokan gue ya?!"
Dia tertawa lagi, tangannya merogoh sesuatu dari dalam tasnya dan memberikannya padaku.
"Ini tugas dari Pak Vian, berhubung temen sekelas kita yang lain pada gak mau sekelompok sama lo jadi gue yang ganteng ini dengan sukarela menyerahkan diri," katanya "Jadi lo harus tau diri. Jangan numpang nama doang! Kerjain yang bener!"
Aku cemberut, "Gausah galak gitu dong! Lo kayak gak kenal gue aja. Tugas cetek beginian sih udah pasti gue kerjain! Yaa selama ga berhubungan langsung sama Pak Vian sih."
Mendengar ucapanku, Ezra tampak gelisah. Aku menatapnya curiga.
"Kenapa muka lo? Kayak lagi nahan sembelit aja."
"Umm... tapi, ra. Jangan marah ya? Soalnya tugas kita itu...."
Dan Ezra membisikkan kata-kata yang membuatku jantungan mendadak. Sialan orang ini! Pokoknya aku akan mengutuknya sepanjang hidupku!
Masa tugasku adalah mewawancarai si iblis tentang kehidupan pribadinya?!
KAMU SEDANG MEMBACA
GTS #1 : My Beloved Dosen
ChickLitㅡGentleman The Series #1ㅡ Orang bilang kalau benci itu jangan terlalu. Maaf maaf saja nih, tapi kebencianku pada dosen kupret itu sudah mendaging dalam diriku. Namun sialnya kini aku malah berdiri dihadapannya sambil memberikan sebungkus soto. Dan k...