"Saat hujan adalah saat yang paling indah, paling romantis, dan paling menguntungkan bagi mereka yang sedang jatuh cinta."
*
"Mobil pribadi, Ra?"
"Honda Jazz merah marun?"
"NUMPANG PULAAANG!!!"
"Sstt... Apaan, sih! Malu, tau!" Kirana berusaha menenangkan kedua sahabatnya yang norak, Rianty dan Lani. Beberapa pasang mata memandang mereka dengan pandangan ingin tahu.
"Itu emang mobil gue. Tapi, selama dua bulan pertama, gue belum dikasih nyetir sendiri," jelas cewek berpipi chubby itu setengah berbisik. Kedua sahabatnya langsung ber-'oh' ria. Tapi cuma sebentar. Karena kemudian ....
"Nggak papa!"
"Yang penting tumpangan gratis!"
"Grr ... Dasar nggak mau rugi!" Kirana pura-pura kesal. Mereka bertiga langsung berjalan masuk ke kelas. Di pintu kelas, mereka berpapasan dengan Tenno, vokalis band sekolah yang udah manggung di mana-mana.
"Eh, Mey! Aku cariin kamu di kelas, ternyata lagi ngumpul sama Kira dan Rianty." Tenno menyapa seseorang di antara mereka dengan suaranya yang, menurut Kirana, mirip sama suara Pasha 'Ungu'.
Mey? Mey siapa? Perasaan nggak ada yang namanya Mey, deh! Namun ternyata, Lani menjawab kata-kata Tenno.
"Eh, iya. Soalnya, aku pingin cepet-cepet ngucapin met ultah ke Kira, sih. Maafin, ya." Lani berkata dengan suara yang agak ... manja! Oh iya! Nama Lani kan Meylani, batin Kirana dengan sedikit terkejut. Jarang banget ada yang manggil Lani Mey.
"Wah, happy birthday, Kira," Tenno melemparkan senyum termanisnya untuk Kirana—yang langsung disambut desahan napas tertahan oleh beberapa cewek yang berdiri di dekat mereka—sebelum kemudian pandangannya beralih lagi ke Lani. Belum sempat Kirana mengucap makasih, Tenno kembali berujar, "Oke, deh. Aku cuma mau mastiin aja. Nanti jadi nemenin aku ke toko buku, kan?" Suara Tenno terdengar penuh harap. Lani langsung mengangguk anggun.
"Ya udah, aku masuk kelas dulu." Tenno mengacak lembut puncak kepala Lani, disambut kikikan kecil dari cewek itu. Saat Tenno sedang berlalu menuju kelasnya, Lani langsung dibombardir dengan seribu satu macam pertanyaan dari kedua sahabatnya.
"Gila! Tenno nyapa elo, La!"
"Mesra beneeer! Pake acara 'aku-kamu' segala, lagi!"
"Cie ... Lani pacaran sama vokalis Dream Band, niiiih ..."
"Ssstt ... Jangan keras-keras!" Lani langsung menoleh ke kiri kanan. Benar saja, ia melihat tatapan-tatapan tajam mencuat dari mata para Tennoholic.
"Kalo gitu, cerita dong!"
"Kapan jadiannya?"
"Di mana?"
"Gimana?"
"Sabar, sabar. Semuanya dapat tanda tangan, kok!" Lani berusaha memelankan suara sahabat-sahabatnya dengan jayus—yang langsung dibalas dengan cibiran.
"Ya udah, cerita!"
Mereka masuk ke kelas XII IPA-1 dan duduk di bangku masing-masing yang saling berhadapan. Saat Lani bercerita, dua sahabatnya itu mendengarkan dengan saksama.
"Tadi kan, gue datang kepagian. Eh, ketemu sama Tenno di gerbang sekolah. Ya udah, kami bareng jalan ke kelas. Tiba-tiba, dia nembak gue ..." Suara Lani semakin lama mengecil. Wajah putih mulusnya terlihat merah padam.
"Gimana nembaknya?" Kirana mendesak sahabatnya yang sudah malu-malu kucing itu.
"Yah ... Standar cowok nembak cewek. Dia berlutut di depan gue, pegang tangan kanan gue dengan lembut, terus bilang 'Kamu lagi deket sama siapa?'. Awalnya, gue kaget dia ngomong gitu. Gue jawab aja nggak ada."
"Teruuus?"
"Dia nanya lagi. 'Kalo aku bilang suka sama kamu, gimana?'" Lani bercerita seraya menangkup pipi dengan kedua tangannya. Kirana berdeham norak, membuat wajah Lani semakin merah.
"Terus lo jawab gimana?"
"Ya gue masih percaya nggak percaya. Tapi dia nanya lagi, mau nggak jadi cewek dia? Gue diam sebentar, nggak bisa ngomong apa-apa saking terkejutnya. Gue cuma bisa ngangguk dan ... gitu, deh." Lani mengakhiri ceritanya dengan wajah bahagia. Mungkin itu kali ya, ekspresi senang setelah jadian sama cowok yang disuka. Kata orang sih, rasanya berbunga-bunga. Tau deh, gimana yang disebut 'berbunga-bunga' itu. Soalnya, Kirana sendiri nggak pernah ngalamin yang namanya suka—apalagi pacaran—lantaran syarat yang ia buat sendiri.
"Selamat pagi, semuanya." Guru perempuan yang mengajar fisika–Bu Mayang namanya–masuk ke dalam kelas. Seketika itu juga kelas menjadi sepi senyap, laksana pasar ikan yang berubah menjadi kuburan.
Ini nih, enaknya jadi guru killer. Begitu masuk ke kelas, murid-murid langsung serentak diam. Mungkin itu yang ada di pikiran Bu Mayang, tapi tidak dengan murid-muridnya. Bagi mereka, level killer-nya Bu Mayang itu keterlaluan!
Gimana nggak keterlaluan kalau sederet syarat tak tertulis ini diterapkan setiap kali beliau masuk dan mengajar:
· Saat pelajaran berlangsung, tidak ada seorang pun yang boleh bergerak—walau cuma untuk ngambil pensil jatuh, atau nepok nyamuk sekali pun, no.
· Jika Bu Mayang mengajukan pertanyaan, tidak boleh ada jawaban 'tidak tahu' keluar dari mulut kita. Kalo nggak, papan tulis di depan kelas sudah menunggu untuk ditemani berdiri.
· Nggak kerjain PR, konsekuensinya adalah berdiri di depan kelas dengan kaki kanan diangkat.
· Nilai ulangan atau PR berada di bawah 6, ceramah langsung dari Bu Mayang serta—tentunya—hukuman setrap telah menunggu.
· Terlambat masuk kelas walau cuma satu menit, siap-siap disuruh nulis 'Saya berjanji tidak akan terlambat lagi' sebanyak ... 1000 kali!
· Nggak boleh keluar kelas dengan alasan yang nggak jelas. Termasuk di antaranya mau ke toilet (kecuali kalo kita nunjukin muka 'sengsara', baru dikasih izin).
Tuh, kan?! Keterlaluan banget, kan? Makanya, satu sekolah, kalo misalnya udah pelajaran Bu Mayang, pasti kata-kata 'Neraka dan penjaganya'—merujuk pada siksaan maharumit fisika sebagai neraka dan Bu Mayang sebagai penjaga neraka—akan keluar bersamaan dari mulut mereka.
Karena Bu Mayang sudah masuk, diskusi mereka tertunda beberapa saat. Mau ngelanjutin diskusi? Itu mah cari mati namanya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Hold My Hands
Teen FictionKirana Larissa Nugroho hanya mendambakan seorang lelaki yang tinggi minimal 25 cm dari dirinya, memiliki mata sewarna biru laut tapi orang Indonesia asli, serta yang paling utama: pencinta hujan seperti dirinya. Syarat yang terlalu cheesy dan muluk...