"GILAAA!! Ulangan tadi pagi benar-benar nyiksa gueee!!" Rianty masih terus mengeluh ketika bel pulang berbunyi. Suara hujan yang mengenai atap sekolah terdengar jelas saat mereka bertiga sedang berjalan keluar kelas. "Urghhh! Pake hujan segala, lagi! Bikin orang nggak bisa olahraga aja!"
"Sabar Ty, sabar!" Lani berusaha menenangkan si tomboi, walau pun dia sendiri juga cemas dan merasa yakin kalo ulangan tadi adalah yang 'terburuk'.
Kirana juga cemas, tapi hanya sesaat. Soalnya, pas jam istirahat tadi, ia kembali berpapasan dengan si 'Mata Biru'. Well, bukan cuma berpapasan gitu sih. Lebih tepatnya, mereka bertabrakan sampai Kirana terpental, jatuh dengan posisi yang sangat nggak keren, saat gadis itu sedang berjalan mundur setelah selesai melihat-lihat mading sekolah. Langsung ditundukkan kepalanya dalam-dalam, merapikan poni dan rambut hinga menutupi muka saking malunya. Kenapa harus di depan cowok keren gitu sih, ini kan nggak banget!
Kirana dapat mendengar kasak-kusuk yang dari siswa yang melintas di sekitaran TKP—dan itu membuatnya semakin merasa malu. Mana orang yang ia tabrak tidak bergerak, apalagi bersuara, membuat dirinya semakin deg-degan menerka reaksi orang itu.
Rasanya waktu berjalan sangaaatt lama, membeku seperti itu. Hingga akhirnya, dapat dirasakannya genggaman di lengan, yang mencoba membantunya untuk berdiri sambil berkata, "Nggak papa, kan?" Kirana mendongak memandangi cowok itu, kaget seribu kaget plus sport jantung.
Kirana terpana sesaat. Mimpi apa gue semalem? Makan apa gue semalem? Belajar apa gue semalem? Gue bisa sedekat ini sama dia?! Gue bisa denger suaranya yang merdu banget itu?! Dia megang tangan gue? Apa ini mimpi? Kalo ini mimpi, please...
"Bisa berdiri, kan?" tanya cowok itu lagi, setengah berbisik. Kirana mengerjapkan mata sipitnya sambil sedikit menggeleng. Sadar, Ra!
"Nggg ... maaf ya, gue nggak sengaja." Akhirnya Kirana menemukan suaranya lagi dan meminta maaf dengan malu-malu. Bukannya mendapat kata-kata balasan, cowok yang membantunya berdiri—setelah ia tabrak dengan sangat nggak keren itu—malah menatapnya dari atas sampai bawah, membuat Kirana jadi makin salting. Entah apa maksud tatapannya itu—tatapan memindai namun tanpa ekspresi.
Oke, ini aneh banget, batin cewek itu. Sebelum semuanya menjadi semakin krik kri, Kirana memutuskan untuk minta maaf sekali lagi kemudian berjalan cepat meninggalkan TKP. Udah nggak sanggup mendengar kasak-kusuk serta tatapan tanpa ekspresi dari pria bermata biru itu. Malu, malu, pokoknya malu banget!
Karena itu, setelah hari panjang di sekolah yang sebagian besar berisi ulangan dan pelajaran memusingkan, Kirana nggak bersikap berlebihan seperti yang dilakukan Rianty siang ini. Padahal, kalo di hari-hari lain, di antara mereka bertiga, Kirana yang paling histeris waktu ada ulangan yang level susahnya dewa begitu.
Dari arah yang berlawanan, ketiganya melihat dua orang cowok yang popularitasnya begitu tinggi di sekolah ini sedang berjalan menghampiri mereka. Lani langsung tersenyum cerah dan meninggalkan Rianty yang tadi berusaha ia hibur untuk menghampiri Tenno—ya, salah satu cowok itu adalah Tenno. Rianty tidak peduli dan terus ngedumel nggak jelas sambil meninju salah satu pilar terdekat.
Satunya lagi adalah Adithya Mahendra, salah satu anak paling pintar di SMA Bhakti Warna, Ketua OSIS yang keren dan termasuk dalam jajaran the most wanted boys di sekolah.
"Hai Ra. Besok, pulang sekolah, kita adain rapat untuk pensi pas HUT sekolah bulan depan, ya," kata Adit agak tegas pada sekretarisnya itu. Ya, Kirana memang termasuk dalam jajaran pengurus OSIS sebagai Sekretaris Umum. Pensi yang sedang digarap ini adalah kegiatan terakhir mereka sebagai anggota OSIS, sebelum berganti kepengurusan dan fokus pada UN.
"Siiip, Bos!" Kirana berlagak hormat seperti sedang melakukan upacara bendera. Adit yang geli melihat tingkah si mungil langsung meluluhkan sikap sok tegasnyatadi dan memberi tatapan usil. Kirana sangat hapal dengan tatapan itu dan langsung melihat langit.
"Gue pulang duluan, ya! Sebelum si bawel Adit ngasih tugas yang banyak ke gue." Kirana buru-buru pamit sambil meninju pelan pinggang Adithya.
"Nggak usah sok jadiin gue alesan deh," Adit berkata dengan nada pur-pura tersinggung. "Bukannya lo pingin cepet-cepet pulang karena takut ujannya reda, padahal lo pingin lama-lama di dekat gue?" lanjutnya dengan tingkat pede selangit.
"Idiiih! Sembarangan lo!" Setelah memeletkan lidahnya ke arah Adithya, Kirana langsung berlari ke depan sekolah.
Begitu tiba di depan sekolah, Kirana berhenti mendadak. Bukan untuk membuka payung, melainkan karena ia melihat ada makhluk ganteng yang berdiri tiga meter di depannya. Mendengar langkah kaki Kirana, cowok itu menoleh.
"Akhir-akhir ini, kita kok sering ketemu, ya?" tanya cowok itu lembut sambil sedikit tersenyum. Kirana jadi bingung sendiri. Aneh, ih! Pas tabrakan tadi, juteknya dan dingin banget. Sekarang, kenapa lembut gini?
Kirana berjalan mendekat. Ragu-ragu, ia membalas senyuman cowok itu sambil berkata, "Iya, ya. Kita sering ketemu," dengan sangat memalukan, tambah Kirana dalam hati. "Sori banget ya tadi gue nabrak elo."
"Tapi lo nggak kenapa-napa kan?" Cowok itu malah balik bertanya sambilmenepuk pelan bahu Kirana. Minta ampun deh, nih cowok! Bikin jantung gue rusak aja, batin Kirana. Ia hanya mampu membalas pertanyaan itu dengan gelengan.
Sunyi. Sepi. Hanya ada gemuruh hujan yang melatarbelakangi adegan tatap-tatapan yang mereka lakukan selama satu menit. Sampai akhirnya, keduanya berbicara bersamaan.
"Lo nggak—"
"Mau pu—"
Keduanya terdiam lagi. Sedetik kemudian, mereka tertawa bersama.
"Ehm ... tadi, mau ngomong apa?" Cowok itu menawarkan Kirana untuk berbicara duluan. Muka Kirana kontan memerah.
"Oh, itu ... cuma mau nanya. Lo nggak bawa ... payung?"
"Ketinggalan di mobil," jawab cowok itu sambil melihat ke arah hujan. Tawarin nggak, yaaa? Kirana bertanya-tanya dalam hati. Gerak-geriknya jelas sekali gelisah, sampai cowok itu penasaran dan bertanya, "Kenapa?"
"Lo mau ke tempat parkir? Pake payung gue aja, lumayan gede kok!" Kirana mengucapkan kalimatnya dengan cepat—akibat semangat bercampur malu. Untung cowok itu mengerti.
"Bener, nih?"
"Beneran." Kirana berusaha meyakinkan cowok itu.
"Emangnya lo pulang naik apa?" Cowok itu bertanya. Kirana menjawabnya sambil tersenyum lebar.
"Jalan kaki."
"Kenapa?"
"Soalnya, tadi pagi langit menduuung banget. Pasti bakal hujan dan hujannya bakal awet. Makanya, gue nggak minta dijemput.."
"Nggak usah jemput?" Cowok itu mengernyitkan dahi.
"Iya. Mau kangen-kangenan sama hujan. Main hujan." Kirana mengakhiri penjelasannya dengan muka cerah. Sesaat, cowok di depannya terlihat sedang berpikir.
"Oke, ikut naik di mobil gue aja, yuk!" tawar cowok itu agak bersemangat, membuat Kirana terkaget-kaget.
"Tapi kan..."
"Lo nggak mau liat hujan secara jelas?" tanya cowok itu menggoda. Muka Kirana yang tadinya ingin menolak langsung tersenyum senang. Kemudian, ia mengembangkan payungnya.
"Oke, deh!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hold My Hands
Teen FictionKirana Larissa Nugroho hanya mendambakan seorang lelaki yang tinggi minimal 25 cm dari dirinya, memiliki mata sewarna biru laut tapi orang Indonesia asli, serta yang paling utama: pencinta hujan seperti dirinya. Syarat yang terlalu cheesy dan muluk...