Prolog

6.7K 563 93
                                    

Dedicated to kak AryNilandari yang memulai ide ini. Omong-omong, idenya keren banget. Aku merasa terhormat, seperti utusan yang terpilih untuk mengemban misi penting Penguasa Bawanapraba. Hehehe.

------------

Sang Hyang jarang sekali mengadakan pertemuan.

Bahkan, seingat Adipati, terakhir kali Penguasa Bawanapraba---dunia cahaya---itu membentuk rapat besar dadakan adalah ketika mereka harus menyusun strategi jitu untuk melawan sang iblis, yang saat ini sudah terkurung manis dalam penjara api. Mungkin itu sudah, hmm, beberapa tahun atau abad yang lalu? Atau beberapa milenium yang lalu? Entahlah, waktu di dunia mereka cukup abstrak, dan Adipati tidak pernah menghabiskan waktunya untuk repot-repot menghitung sesuatu yang sulit diukur, sementara ia harus mengurus kerajaan kecilnya di utara, yang masih saja disusupi oleh beberapa iblis dan hantu kecil nakal yang mengganggu warga.

Jadi ketika pemuda itu melangkah melewati koridor istana berlantai emas, melemparkan senyum paling manis pada dayang-dayang jelita yang membungkuk hormat padanya setiap ia melewati mereka---Adipati yakin itu disebabkan oleh wajah tampannya, tapi Sang Penunggu Gunung, sobatnya, meyakinkan kalau wajahnya seburuk hantu comberan---ia terkejut ketika mendapati ruang pertemuan Sang Hyang dipenuhi oleh belasan orang selain dirinya, duduk melingkari sebuah meja lonjong batu besar yang dipahat halus. Jadi semua orang juga diundang, pikirnya. Sang Hyang berada di ujung meja, di atas singgasana tinggi yang menekan kedudukan dan wibawanya, kemudian menatap dengan wajah serius. 

Sang Hyang memang selalu berwajah serius, dengan janggut putih bijaknya dan mata tajam yang cerah, yang membuat nyaris semua makhluk mustahil untuk mengabaikan titah beliau. Tapi Adipati tahu ada sesuatu yang jauh lebih serius kali ini, dengan---setelah ia hitung---ketujuh belas utusan yang tidak biasa dan beberapa kursi kosong.

"Maafkan keterlambatan hamba, Yang Mulia." Adipati berlutut dengan sebelah kakinya dengan pedang yang ia tegakkan di sisi tubuhnya. Sebenarnya ia tidak yakin kalau ia terlambat, karena ketika Sang Hyang menghubunginya di istananya tadi, detik itu juga ia langsung terbang ke sini. Tapi melihat belasan orang yang sudah terduduk rapi seolah menunggunya, mau tidak mau pemuda itu jadi merasa harus mengatakan sesuatu.

"Duduklah, Adipati Utara," ucap Sang Hyang, suara dalamnya menyelimuti seluruh ruangan bagai angin sejuk yang menenangkan.

Adipati berjalan di antara pilar-pilar emas, menaiki undakan rendah berlapis kristal dan duduk di salah satu kursi kosong bertatah berlian yang dipahat sempurna di samping Sang Penunggu Gunung. Segala sesuatu di istana ini terlalu megah, dan kekayaan istana Adipati sendiri bahkan tidak mencapai setengahnya.

"Karena ada beberapa yang tidak bisa hadir, jadi aku akan memulainya sekarang," kata Sang Hyang. "Kalian semua tentu ingat dengan pertarungan besar kita melawan iblis terkuat beberapa waktu yang lalu."

Adipati mengangguk pelan bersama yang lain, cukup terkejut ketika Sang Hyang menyebut pemilihan kata waktunya, karena ia sendiri berpikir kalau kejadian itu seperti berabad-abad yang lalu. Rasanya sudah lama sekali.

"Tenang saja, iblis itu masih berada di tempat yang seharusnya," lanjut Sang Hyang ketika raut wajah mereka mulai tegang. "Yang menjadi masalah sekarang adalah kristal mustika di ujung tongkatku yang kupakai untuk melawan iblis itu."

"Kristal yang pecah berkeping-keping dan jatuh ke Bumi?" tanya Sang Penunggu Gunung.

Adipati pikir saat itu Sang Hyang sudah mengatakan kalau itu bukan masalah selama Iblis besar telah terkalahkan.

Sang Hyang mengangguk. "Benar. Akhir-akhir ini aku merasakan kekuatan yang tidak wajar dari Bumi. Kekuatan-kekuatan gelap yang berpotensi menjadikan manusia menjadi iblis, yang ironisnya, berasal dari kristal yang pernah mengalahkan iblis terbesar. Manusia telah menyalahgunakan pecahan kristal itu untuk saling menghancurkan, dan aku khawatir mereka akan menciptakan iblis yang lebih jahat lagi." Kemudian ia menatap wajah mereka semua, yang membalas tatapannya dengan khidmat. "Karena itulah aku memanggil kalian semua, wahai utusan-utusan kepercayaanku, untuk mengambil kembali serpihan kristal itu dan membawanya padaku. Penjaga Mata Angin, Penunggu Alam, Pengendali Elemen, dan Pengendali Musim."

Tentu saja, Adipati Utara adalah salah satu dari Penjaga Mata Angin yang mendapat kehormatan itu.

Para utusan tersebut masih menatap Sang Hyang tanpa mengatakan apapun, seolah satu kata yang mereka ucapkan saja akan meledakkan udara. Tapi kemudian seorang wanita cantik yang duduk berseberangan dengan Adipati akhirnya membuka suara. 

"Maaf, Yang Mulia," ucap Putri Tenggara dengan nada ragu. "Tapi bagaimana cara kita mencari serpihan kristal itu ... dalam negeri yang begitu luas?"

Sang Hyang berdiri dari singgasananya, membuat wanita itu memucat sesaat, tapi kemudian penguasa dunia cahaya tersebut melambaikan tangannya perlahan ke atas meja, hingga sebuah peta kecil muncul di hadapan masing-masing dari mereka. Kemudian ia berkata, "Aku memberi kalian petunjuk lokasi di mana kalian harus mencari. Semua tercantum di dalam peta. Untuk sisanya, aku mempercayai kekuatan kalian---baik fisik maupun pikiran. Apa kalian siap, utusanku?"

Adipati menatap tulisan 'Riau' yang cukup besar pada peta tersebut. Ia mengenal tempat itu sebagai bagian dari Nusantara, yang pernah ia kunjungi sekali dua kali untuk sekedar mencari angin segar. Dan sekarang ia harus ke sana lagi, bukan untuk bersantai, tapi mengemban misi besar dari Sang Hyang. 

Merebut kembali kristal mustika dari manusia jahat. Gampang.

Karena pada akhirnya, tokoh baik selalu menang, mengalahkan tokoh jahat, kemudian hidup bahagia selamanya. Adipati jelas mendapat peran protagonis di sini.

Jadi, bersama ketujuh belas utusan lainnya, Adipati berseru mantap, "Kami siap, Yang Mulia."

------------------------------------

Bawang Putih & Bawang Merah (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang