BAWANG Merah tidak mengerti bagaimana bisa kristal yang ia dapatkan dari si Nenek---dengan sedikit paksaan---ternyata palsu.
Ia lebih tidak paham lagi ketika tiba-tiba Adipati tampak lebih cemas darinya, kemudian mengatakan kalau ia harus segera ke rumah Bawang Putih ('rumah Bawang Putih' katanya! Seolah ia tidak tinggal di sana), setelah membalut luka Bawang Merah dengan selendang merah dan meminta maaf gugup berkali-kali.
"Aku tidak peduli jika kau sebegitu rindunya pada si Anak Bawang," cetus Bawang Merah, berusaha menyembunyikan kegetiran pada suaranya. "Yang pasti, aku harus kembali menemukan si Nenek dan menuntut pertanggungjawaban untuk semua ini." Berani-beraninya nenek itu memberi kristal asli pada Bawang Putih sementara dia mendapat yang palsu. "Jadi, hei, lepaskan tanganku!"
Adipati menghembuskan napas lelah sembari melangkah di atas dedaunan dan ranting kering, tapi ia tidak melonggarkan cengkramannya pada pergelangan tangan Bawang Merah yang tidak terluka. "Karena itulah aku tidak bisa melepaskanmu. Kau tidak bisa mengerti betapa bahayanya Nenek yang kau temui itu, apalagi kristal yang ada pada Bawang Putih sekarang."
Berbahaya? Bawang Merah rasa, ia hanya ingin cepat-cepat merebut kristal yang asli dan tidak mau membiarkan orang lain mendapatkannya.
"Berani-beraninya!" jerit Bawang Merah, masih berusaha menarik tangannya. "Kau sudah hampir membunuhku dengan pedang, dan sekarang kau menyeretku seenaknya! Dasar pria licik!"
Pria yang disebut licik itu berhenti dan menoleh tidak senang pada Bawang Merah, tampak sangat tersinggung. "Maaf atas luka gores lima senti sedalam ujung kuku di lengan kiri yang nyaris membunuhmu itu," ujarnya datar. "Bisa kulihat darah yang sudah mengering di balik selendang merah itu membuatmu kesulitan untuk berjalan, dan itu benar-benar menghambat kegiatanku." Lalu Adipati tersenyum miring, yang entah bagaimana malah membuatnya beberapa kali lipat lebih menawan. "Oleh karena itu, izinkan aku untuk mempercepat perjalanan kita, tanpa harus menyakitimu."
Bawang Merah melotot kaget ketika Adipati membungkuk, kemudian menekuk kedua belakang lutut gadis itu dan mengangkatnya. Dalam sekejap, tiba-tiba saja Adipati sudah menggendong Bawang Merah sambil menjinjing bakul pakaian dengan jempol dan telunjuk kanannya tanpa kesulitan seakan benda itu tidak memiliki massa, kemudian lanjut berjalan lebih cepat.
"Kau tidak boleh melakukan ini," kata Bawang Merah setelah pulih dari keterkejutannya. Ia meletakkan kedua tangannya di dada Adipati dengan kaku seolah ingin mendorongnya. "Aku memerintahkanmu untuk menurunkanku sekarang juga, atau aku bersumpah akan memotong kakimu, tidak peduli kau itu adipati, pangeran, atau raja."
Adipati tertawa ringan. "Kau bahkan tidak bisa menyentuh tulang keringku, Nona."
"Turunkan aku," pintanya. "Aku berjanji tidak akan kabur dan mendobrak rumah si Nenek."
"Tidak ada yang menjamin."
Bawang Merah mendesah frustrasi. Detak jantungnya mulai seirama dengan setiap langkah kaki Adipati. "Kenapa kau bahkan peduli? Bukan urusanmu jika si Nenek ternyata benar-benar berbahaya lalu memakanku hidup-hidup."
"Tugasku di sini menyelamatkan nyawa," balas Adipati singkat. "Bukannya membiarkan mereka terancam di depan mataku."
"Ya, menyelamatkan orang baik," dengus Bawang Merah. "Aku Bawang Merah. Gelarku iblis di sini."
"Tidak heran," kata Adipati menyetujui. Entah kenapa, mendengar pengakuan langsung darinya membuat Bawang Merah semakin merasa jauh lebih buruk. Padahal selama ini gadis itu sudah terbiasa menerima perkataan sinis dari orang-orang desa. "Perangaimu sangat jelek. Tapi kau tidak menyimpan niat jahat yang paling dalam di lubuk hatimu. Oleh karena itulah, kristal mustika Sang Hyang yang asli tidak jatuh ke tanganmu."
"Jadi ... ternyata akulah makhluk baiknya?" tanya Bawang Merah polos.
Adipati melirik Bawang Merah dengan tatapan aneh selama beberapa saat, sebelum menjawab dengan jujur. "Tidak juga."
"Jadi," tukas Bawang Merah disertai geraman tidak senang, "pada akhirnya tetap Bawang Putih yang paling baik dan mendapatkan kebahagiaan abadinya."
"Stereotip," cetus Adipati. "Setelah semua kejadian tadi, aku mulai menyadari kalau tidak ada yang benar-benar baik dan jahat di dunia ini---walaupun aku belum menemukan sisi baik dari dirimu sejauh ini. Bawang Putih memang tokoh baik yang sempurna, tapi kita tidak pernah tahu kalau semua sifatnya bertujuan untuk menutupi perasaan dan niat buruk yang selalu ia pendam selama ini. Ia menyimpan setitik hitam yang kecil di hatinya, tapi juga begitu kuat, hingga akhirnya berhasil membawa Bawang Putih pada kristal mustika, dan hanya diperlukan sedikit percikan lagi untuk membangkitkan seluruh sisi gelap yang ia sembunyikan."
"Yang sudah terjadi ... sekarang," lanjut Adipati sambil menahan napas. Kedua matanya tertuju pada gadis bergaun putih di depan mereka yang membalas tatapannya dengan tajam---terutama pada Bawang Merah.
Bawang Merah seperti tidak mengenali gadis itu lagi, tidak dengan gaun putih indah dan wajah mengeras penuh tekad yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya. Selama ini Bawang Merah selalu menyaksikan Bawang Putih yang memelas dan memohon ampun dengan tatapan menderitanya yang menyedihkan. Tapi kali ini, Bawang Putih menatapnya dengan kedua mata berkilat, seolah ia sama sekali tidak ragu jika harus membunuh Bawang Merah. Sebelah tangannya terdapat sebuah kristal putih bening besar, yang ia genggam tanpa kesulitan sedikit pun ketika maju selangkah.
"Aku tidak pernah menyangka kalau tandukmu bisa lebih panjang dari iblis, Bawang Merah," ucap Bawang Putih dingin.
------
itu sebenarnya aku mau buat panggilannya 'cik', bukannya 'nona', biar ada sikit2 melayunya.
tapi jadi aneh ._.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bawang Putih & Bawang Merah (Completed)
FantasyPasti kau sudah sering sekali mendengar kisah Bawang Putih dan Bawang Merah, yang saking terkenalnya di Indonesia, bahkan sempat di angkat ke layar kaca dalam bentuk ... hmm, sinetron. Kali ini aku akan menyuguhkan cerita serupa dengan gaya berbeda...