Bagian 2

2.3K 443 71
                                    

ADIPATI memainkan gulungan petanya sambil melangkah di atas tumpukan daun kering. Menurut peta, seharusnya kristal mustika itu berada di sekitar sini, tapi ia tidak menemukan petunjuk apa pun selain pohon-pohon lebat dan bentangan sungai yang mengalir beberapa langkah di sampingnya.

Pemuda itu bergerak tidak sabar. Ia sudah taruhan dengan Sang Penunggu Gunung siapa yang akan lebih dulu menemukan kristal itu. Sesekali ia melempar gulungan peta ke udara, berharap benda itu secara ajaib menunjukkan arah yang lebih jelas ke mana ia harus pergi.

Hingga suara tangisan samar-samar memecahkan perhatiannya, dan peta itu jatuh ke tanah. 

Setelah memungut peta itu, Adipati melangkah lebih cepat ke sumber suara, lalu bertemu dengan seorang gadis yang terisak sambil menggendong bakul pakaian.

Dia, menurut Adipati, adalah gadis tercantik yang pernah ia lihat di Bumi. Kulit cerahnya bersinar, seolah terbuat dari mutiara. Rambutnya yang panjang menjuntai hingga ke punggung dan agak lembab. Ia mendekapkan bakul itu lebih dekat ke pakaian setengah basahnya, sementara kedua mata merahnya menatap Adipati dengan ragu.

"Apa yang mengganggu pikiranmu, atau siapa yang telah begitu lancang membuat air mata membasahi wajah secantik dirimu?" tukas Adipati tanpa berpikir panjang, seperti biasanya setiap kali ia berhadapan dengan makhluk sejenis gadis di depannya.

Tapi selalu ampuh, karena buktinya sekarang gadis itu sudah berhenti menangis.

"Aku---pakaian ibuku terhanyut," jawabnya tergagap. "Mereka akan memarahiku jika aku pulang sebelum menemukannya."

"Kau tidak perlu bersedih hanya karena itu," kata Adipati sungguh-sungguh. Sambil menyimpan peta ke dalam sakunya, ia melanjutkan, "Biarkan aku membantumu."

"Tidak perlu," sergah gadis itu buru-buru. "Kakak perempuanku tidak akan senang. Dia---"

Tangisnya kembali pecah. Ia menjatuhkan bakulnya dan berlutut, lalu tiba-tiba saja Adipati harus menjadi tempat gadis itu menumpahkan semua isi hatinya. Tentang ibu yang kejam, saudari tiri yang sengaja menghanyutkan selendang kesayangan ibu mereka dan melaporkannya agar gadis itu dihukum, dan betapa ketakutannya ia karena belum menyiapkan makan malam sementara sekarang matahari sudah hampir terbenam.

Adipati harus menenangkannya selama beberapa saat, hingga akhirnya gadis itu bersedia menerima pertolongannya.

"Siapa namamu?" tanya Adipati lembut sambil membantunya berdiri.

"Bawang Putih," jawabnya tersenyum, lebih lembut.

Pemuda itu mengerjap, menahan diri untuk berkomentar. "Namaku Adipati," katanya.

Tidak butuh waktu lama untuk menemukan selendang yang Bawang Putih cari. Adipati langsung mengenalinya berdasarkan ciri-ciri yang disebutkan gadis itu dari jarak jauh, tersangkut di sela-sela bebatuan. Semuanya terlalu mudah, hingga Adipati sendiri heran bagaimana Bawang Putih tidak menemukannya selama berjam-jam. Jika manusia yang ia hadapi sekarang bukan wanita, sudah pasti Adipati menggetok kepala orang itu.

Tapi ia bahkan tidak tega untuk menegurnya sekali pun. Bawang Putih terlalu rapuh.

"Terima kasih sudah menolongku, Adipati," kata Bawang Putih ketika Adipati mengantarnya ke rumah. "Aku tidak tahu bagaimana nasibku jika tidak bertemu dirimu."

"Ehm," Adipati menggaruk belakang kepalanya dengan ragu, tidak yakin kalau perbuatannya tadi bisa disetarakan dengan penyelamatan nyawa yang heroik. "Ya. Sebuah kehormatan bagiku untuk membantu wanita cantik sepertimu."

Bawang Putih tersenyum, wajahnya merona sedemikian rupa hingga Adipati merasa gadis itu harus mengganti namanya menjadi Bawang Merah. Tapi setelah mengingat cerita Bawang Putih tentang saudarinya tadi, ia segera mengusir pikiran itu.

"Mungkin kau bisa mencariku, jika membutuhkan bantuan," ucap Bawang Putih beberapa saat kemudian.

Adipati hanya mengiyakan dengan sopan sambil menekuri bakul yang ia bawa, walaupun ia ragu Bawang Putih bisa membantunya mencari kristal mustika.

Oh, iya, kristal mustika. 

"Kita harus berpisah di sini," kata Bawang Putih tiba-tiba. "Aku tidak ingin Ibu dan saudariku melihat ada orang asing bersamaku."

"Tapi rumahmu belum terlihat," tukas Adipati tidak setuju, "dan sekarang sudah gelap."

"Tidak apa-apa, Adipati." Bawang Putih menarik bakul pakaian yang baru saja ia cuci ulang dari pelukan Adipati, lalu menatapnya dengan pandangan memohon. "Aku sudah terbiasa berjalan di tengah malam."

"Tidak," kata pemuda itu tegas. "Aku tidak bisa membiarkan seorang gadis sendirian sebelum ia berada di tempat yang aman."

Bawang Putih tersenyum kecut, dan seketika Adipati menyadari kesalahan ucapannya. Oh, sial.

"Maksudku, setidaknya di bawah atap rumah tidak akan ada binatang buas atau ... er, pemburu atau pengelana tersesat," tambahnya dengan gugup.

"Aku berterima kasih dengan tulus," ucap Bawang Putih. "Tapi aku harus terlihat pulang sendirian, kumohon." Ia tampak seperti ingin menangis lagi.

Keluarganya pasti benar-benar kejam.

Adipati tidak membantah lagi. Ia hanya menatap kepergian Bawang putih, setengah cemas, sambil diam-diam mengikutinya dari jauh. Ketika dilihatnya gadis itu sudah memasuki rumah besar yang tampak mencolok di antara rumah-rumah sederhana lainnya, Adipati akhirnya melangkah pergi dengan bernapas lega.

Ia berhenti di salah satu pohon yang paling rindang, lalu memutuskan untuk beristirahat di bawahnya sejenak. Besok pagi ia akan melanjutkan pencariannya.

Setelah menyapa Bawang Putih terlebih dulu.

***

Adipati tidak menyangka kalau ia akan tertidur. Tidak di bawah pohon.

Tapi ia sama sekali tidak menyadari rasa kantuk yang menguasainya semalam, dan tidak sempat bangkit untuk mencari tempat yang lebih nyaman untuk dijadikan tempat tidur selain tanah penuh daun kering ini. Sampai kemudian cahaya terang mulai menyusup masuk lewat celah matanya ketika ia mencoba mengerjap akibat hujan daun kering dadakan di atas kepalanya.

Daun-daun kering itu benar-benar mengganggu. Rasanya seolah ada yang sengaja menyihir pohon tempat ia bersender untuk menyerangnya. Adipati mendongak, lalu nyaris mengumpat setelah mengetahui sumber masalahnya. 

Nenek sihir penyebab hujan daun kering itu menepuk daun terakhir dari telapak tangannya, lalu menatap Adipati dengan kedua matanya yang berkilat. Ia berkacak pinggang, mendengus ketika melihat korbannya mulai sadar, lalu menyeringai menyebalkan. Sorotan dingin wanita itu memberi kesan seolah di kepalanya terdapat segudang rencana jahat kepada setiap orang yang ia pelototi.

"Kau yang memberi hadiah pada si Bawang?" tanyanya tidak ramah.

Bawang Putih & Bawang Merah (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang