BAWANG Putih berjalan di tepi sungai bebatuan dengan telapak kakinya yang telanjang, melangkah hati-hati agar tidak terpeleset. Sebelah tangannya memeluk bakul berisi pakaian kotor, sementara tangan yang lain ia bentangkan di atas dahi untuk melindunginya dari sengatan matahari.
Sesuai perintah ibu dan saudara tirinya, Bawang Putih hanya boleh keluar untuk mencuci tepat pada tengah hari, tidak peduli secepat apa pun ia menyiapkan makanan untuk mereka dan membersihkan setiap jengkal rumah hingga mengilap.
Ia rasa saudara tirinya itu hanya iri pada kulit mulus dan putih yang ia miliki, dan berharap sinar matahari bisa melakukan sesuatu untuk menghancurkannya. Bawang Putih tertawa dalam hati, karena hal tersebut jelas tidak berhasil. Tapi lama-lama ia mulai merana karena tidak ada seorang pun yang bisa ia ajak berbicara, biarpun sekedar basa-basi untuk menghilangkan kejenuhannya.
Tidak ada satu pun orang waras yang mau mencuci pakaian di bawah kejamnya panas matahari.
Tapi mungkin kita bisa mengesampingkan standar kewarasan untuk gadis malang itu, mengingat ia sudah mengalami banyak hal yang jauh lebih kejam.
Bawang putih berhenti, berdiri menghadap sungai sambil menarik napas penuh penderitaan. Jika bukan karena bakul bambu anyaman yang ia gendong dengan susah payah sekarang, mungkin orang-orang sudah mengira kalau ia ingin bunuh diri.
Oh iya, tidak ada orang di sana.
Gadis itu menghembuskan napas dengan keras, berjongkok untuk meletakkan bakul pakaian di sampingnya, agak terlalu keras hingga menciprati air sungai dangkal di atas salah satu batu datar.
"Mengeluh?" Sebuah suara mengejek terdengar dari belakang. Bawang Putih menoleh dan mendapati Bawang Merah sedang duduk di bawah pohon rindang, mengipas-ngipas diri dengan tiga helai daun sambil menatapnya sinis. "Bawang Putih yang paling baik dan tidak sombong ingin membangkang?"
Tidak memedulikan saudari tirinya, Bawang Putih melanjutkan kegiatannya. Ia mengambil salah satu pakaian teratas dan mencelupkannya di air sungai. Bawang Merah, dengan segala kekurangkerjaannya, selalu sengaja mengganti pakaian setiap beberapa jam sekali hanya agar Bawang Putih mendapat lebih banyak pekerjaan. Tidak hanya itu, ia juga sengaja mengotori rumah, menumpahkan kuah di lantai, menggunakan kemben Bawang Putih untuk mengelap telapak kakinya, mengganggu Bawang Putih---dan semua itu dilakukan untuk memperberat saudarinya.
Seperti sekarang ini, Bawang Merah mulai melempar batu ke bakul pakaian, dan bersorak setiap kali batu-batu itu masuk sasaran.
Bawang Putih hanya terdiam, sambil sesekali menjauhkan benda anyaman itu jauh dari jangkauan Bawang Merah, tapi hal tersebut malah membuat saudari tirinya semakin semangat.
"Ayo, menangislah, Anak Bawang," seru Bawang Merah gembira ketika batu kelimanya melayang dengan lengkungan sempurna ke atas tumpukan pakaian hingga Bawang Putih harus memeluk bakul itu agar tidak terjatuh. "Aku tahu kau sedang menyumpahiku dalam hati, dasar munafik."
Gadis itu menoleh pada Bawang Merah, tampak ingin menangis. Tentu saja, Bawang Putih tidak bisa membantahnya. Ia tidak bisa melawan takdir yang merenggut nyawa ibu kandungnya. Ia tidak bisa menyanggah ketika ayahnya memutuskan untuk menikahi seorang iblis dengan putri yang dinamai mirip dengannya. Ia tidak bisa menentang ketika ibu tiri iblis itu mengambil alih seluruh kekayaan ayahnya yang baru saja meninggal. Dan ia tidak pernah bisa memberontak setiap kali mereka mulai memperlakukan Bawang Putih lebih parah dari pembantu.
Bisa dibilang, ia sudah nyaris kehilangan dirinya sejak kepergian sang Ibu.
"Jangan berani-berani kau meraung seperti anak teraniaya!" ancam Bawang Merah, walaupun sebenarnya Bawang Putih memang anak teraniaya.
Bawang Merah meraih batu yang lebih besar, melempar ke arahnya. Bawang Putih menunduk dengan ketakutan sambil melindungi wajah dengan kedua lengannya, tapi lemparan batu tersebut hanya mengenai bakul hingga benda itu jatuh ke sungai.
"Haha!" Bawang Merah bersorak gembira lagi ketika Bawang Putih buru-buru memungut pakaian yang terhanyut.
Sekarang Bawang Putih benar-benar hampir menangis. Ia menggigit bibirnya untuk menahan air yang mulai mengumpul di sudut matanya. "Kenapa kau melakukan itu?" tanyanya pada Bawang Merah. "Apa untungnya semua ini untukmu, Merah?" Tidak seperti saudarinya yang selalu memanggilnya Bawang, Bawang Putih lebih memilih menyebut warna ketimbang umbi-umbian yang ia cincang dan masak setiap hari.
Bukannya ia tidak terbiasa dengan julukan itu, mengingat nama-nama semacam itu memang lazim di dunianya. Ia sendiri pernah bertemu dengan gadis dengan nama Keong dan Timun.
Jadi 'Bawang' bukan sesuatu yang aneh.
Bawang Merah bangkit dan menepuk gaunnya. Ia masih menyeringai, tapi kali ini ada sorotan jijik yang ia lontarkan ke Bawang Putih. "Karena aku membencimu," desisnya.
Bawang Putih hanya tertegun menatap saudari tirinya. Suaranya mulai serak. "Kenapa?"
"Karena," Bawang Merah menghembuskan napas tidak sabar seolah pertanyaan itu adalah pertanyaan terbodoh yang pernah ia dengar. "Aku membencimu."
Jawaban itu juga merupakan jawaban terbodoh yang pernah ada---setidaknya yang pernah Bawang Putih dengar. Tapi ia tidak berani mengutarakannya.
"Urusanku selesai di sini," lanjut Bawang Merah dengan puas. "Setelah ini, aku akan mendapatkan kenikmatan untuk menyaksikanmu dihukum Ibu. Dia sangat menyukai selendang jingga itu, tahu."
Kemudian ia pergi meninggalkan Bawang Putih sambil tertawa keras seperti orang gila.
Bawang Putih membeku, mencoba melirik bakul pakaian itu dengan takut-takut.
Selendang jingga yang warnanya paling norak dan mencolok itu tidak berada di lapisan mana pun.
--------------------
Kadang aku takut untuk post cerita ini, karena ... lihat sendiri lah ahaha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bawang Putih & Bawang Merah (Completed)
FantasyPasti kau sudah sering sekali mendengar kisah Bawang Putih dan Bawang Merah, yang saking terkenalnya di Indonesia, bahkan sempat di angkat ke layar kaca dalam bentuk ... hmm, sinetron. Kali ini aku akan menyuguhkan cerita serupa dengan gaya berbeda...