Bangkit!!

16 3 4
                                    

Satu hari terlewati.

Tak ada tanda - tanda kami akan diselamatkan. Tetapi, itu tidak mematahkan semangat kami. Selama persediaan makanan dan air ada, kami akan baik - baik saja.

Pagi ini, kami sarapan dengan sisa makan malam. Untung saja ikannya masih layak dimakan. Kalau kita keracunan, kurasa hidup kita akan berakhir disini.

"Hahh..... coba saja kita bisa mandi..." desah Elise kesal. Kami yang sedang membetulkan naungan menoleh. "Yaah.... kita sedang terdampar. Mau tak mau kita harus tahan berhari - berhari tidak mandi." Timpal Zaya sambil nyengir. Elise mendengus sebal.

"Sebenarnya kita bisa mandi." Kataku. Membuat binar di mata Elise muncul. "Benarkah?? Aku sudah gerah dengan pakaian ini." Tanyanya berharap. Aku meliriknya. "Tapi kau harus berani membuka semua pakaianmu. Dan kau harus menemukan sungai dulu..." jelasku. Seketika wajahnya kembali keruh. Alisa yang mendengar tertawa pelan.

Ternyata Elise benar - benar serius soal mandi ini. Siang itu juga, dia mengajak Zaya untuk mencari sungai untuk mandi. Meninggalkanku dan Alisa di naungan bermain tebak - tebakan.

"Semoga ketemu sungainya yah!!" Seru Alisa masih geli. Elise mendelik kesal lalu segera menggamit lengan Zaya. Alisa terkekeh geli. Sementara aku sedang menyiapkan alat memancing.

"Alisa, bagaimana kalau selagi mereka mencari sungai, kita memancing untuk makan siang dan malam??" Tanyaku. Mendengar ajakanku, Alisa mengangguk senang. Membantuku membawa alat memancing.

Untungnya cuacanya mendukung. Langit cerah dan ombak tidak terlalu tinggi. Kita menelusuri terumbu karang, berharap menemukan sesuatu untuk dimakan. Aku menggenggam bambu runcing yang dibuat oleh Elise.

Setengah jam berenang menelusuri terumbu karang, akhirnya kami mendapat tangkapan yang cukup sampai nanti malam. Alisa tertawa menunjukkan tangkapannya. Yang dibalas oleh punyaku.

Sesampainya di naungan, rupanya Elise dan Zaya belum kembali. Kami mulai menyiapkan makan siang. Sambil membersihkan ikan, Alisa mengajakku bercakap - cakap.

"Yu-chan punya mimpi??" Tanyanya. Tanganku yang sedang membuang sisik ikan terhenti. Alisa menyadari pergerakanku, lalu ikut berhenti. "Aku.... tidak pernah memikirkannya...." jawabku. Wajahku berubah murung.

Aku memang tidak berbohong. Selama ini, aku belum punya mimpi yang jelas. Ayah Ibuku selalu memaksaku untuk jadi ilmuwan. Dan aku tidak pernah diberikan kesempatan untuk memilih sesuatu. Jadilah aku tumbuh seperti robot yang diatur.

Alisa tersenyum lembut menatapku. "Aku yakin, Yu-chan pasti akan menemukan mimpi Yu-chan. Mungkin tidak sekarang, suatu saat nanti pasti Yu-chan menemukannya." Jawab Alisa sambil menggenggam tanganku. Aku tersenyum lemah.

"Bagaimana denganmu??" Tanyaku balik. Alisa tersenyum. "Aku ingin sekali jadi astronot. Aku ingin sekali pergi ke bulan. Ah!! Atau mungkin aku akan tinggal di bulan!!" Serunya riang. Ada semburat merah di pipinya. Aku tersenyum simpul melihatnya. Tetapi, sedetik kemudian, wajahnya berubah sedikit murung.

"Tapi... aku terlalu lemah... aku ingin sekali bisa sehat sepertimu dan yang lain. Pasti enak ya..." katanya lemah. Aku terperangah. Aku memang tak pernah memikirkannya.

"Tapi, kau beruntung." Kataku. Alisa menoleh. "Kau masih bisa bermimpi, sementara aku, aku bahkan tak diberikan kesempatan untuk bermimpi...." desahku. Alisa menatapku bingung sesaat. Tiba - tiba tangannya yang satu lagi menggenggam tanganku yang bebas. "Bisa kau.... ceritakan...??" Tanyanya dengan sorot mata serius. Aku mendeguk. Meski akhirnya mengangguk.

"Sejak aku TK, orangtuaku selalu menunjukkan kehebatan seorang Ilmuwan." Kataku memulai cerita. Alisa bersimpuh di sampingku, meninggalkan ikannya setengah bersih. "Orangtuaku selalu berkata, 'Nak, lihatlah, betapa hebatnya seorang ilmuwan!!'. Dan aku yang masih kecil, tak mengerti apa - apa, dibutakan oleh ambisi mereka." Aku berhenti sejenak.

ImaginationWhere stories live. Discover now