Senyuman yang Menghilang

2 0 0
                                    

Hari - hari sulit kembali terlewati.

Sepeninggal Alisa, tentu saja keadaan mental kami masih berantakan. Terutama Elise. Elise suka menangis sendiri di pinggir pantai tempat kami terdampar dulu. Sesenggukan menatap laut yang menyisakan debur ombak. Aku dan Zaya hanya bisa menatapnya terdiam dari balik pohon. Tak tahu harus berbuat apa.

Kami kembali sibuk bekerja. Karena keadaan Elise amat sangat tidak memungkinkan untuk membantu, maka aku dan Zaya ringan tangan bekerja lebih keras. Kemampuan bahasa kami melesat tak terkira. Kami sekarang tak kesulitan berkomunikasi.

Kepala Suku amat sangat senang dengan apa yang kita lakukan. Beliau bilang kami bisa dikategorikan aset berharga suku itu. Aku hanya terdiam. Sementara Zaya salah tingkah. Kami masih tinggal di rumah Kepala Suku. Keluarga Kepala Suku amat ramah. Mereka telah menganggap kami sebagai bagian dari mereka.

Seminggu setelah Alisa meninggal, Elise kembali bekerja. Tatapan matanya masih kosong. Kadang matanya berkaca - kaca. Tapi ia berhasil mengerjakan tugasnya dengan baik. Tak kurang satu apa pun.

Kyle juga lebih pendiam. Tapi ia berusaha keras untuk menghibur kami. Terutama Elise. Kadang, kami mendapati keduanya berdiri bersisian di pantai. Tak bercakap satu sama lain. Aku dan Zaya yang mengintip hanya menyeringai. Apalagi Zaya, gemas melihat Elise yang terkadang ingin mengajak Kyle bicara, tapi mulutnya kembali tertutup sebelum sepatah kata pun terucap.

Hari - hari sulit kembali terlewati. Entah kita senang dengannya atau tidak. Takdir terus bergulir. Hidup harus terus berlanjut.

"Elise!! Tunggu aku!!" Seru Zaya sambil membenahi kayu bakar di punggungnya. Berlari kecil meniti bebatuan di sungai.

Elise menoleh, menatap Zaya kosong. Menunggu. Aku yang berdiri tak jauh dari Elise juga menoleh. Menatap Zaya bingung melihatnya kesusahan meniti batu - batu.

"Zaya, kalau kau tak bisa membawa kayu bakar, sebaiknya kau bantu saja nelayan di pantai. Bukankah kau pandai menangkap ikan?? Atau lebih praktis, kau bantu saja tabib untuk meracik obat. Cukup berkeliling rumah saja." Omelku. Zaya nyengir bersalah, sambil lagi - lagi membenahi kayu bakar di punggungnya.

"Kau tahu sendiri Yu-chan, akhir - akhir ini ombak tinggi, aku tak terlatih berenang. Dan aku tak bisa membedakan tumbuhan herbal dengan baik. Bagaimana aku akan membantu tabib coba." Sungutnya kesal. Kali ini dia sudah berjalan di samping Elise yang hanya memperhatikan percakapan kami.

Aku menyeringai, tak menjawabnya. Tetap melanjutkan langkahku meniti dasar hutan. Akhir - akhir ini sering turun hujan. Dasar hutan yang dipenuhi lumut selalu licin. Belum lagi kalau bertemu lintah. Bisa repot urusan. Biasanya Zaya akan melompat - lompat panik dan membuat kacau rombongan.

Kicau burung pagi memecah hening hutan yang terpotong oleh omelan kami. Sekali dua kali burung - burung warna - warni hinggap di pohon dekat kami. Aku tak peduli. Kembali melanjutkan jalanku. Zaya di belakang tetap bersungut - sungut. Sementara Elise hanya menatap kosong burung - burung itu. Setitik air mata jatuh membasahi pipinya.

Air mata yang penuh ke frustasian.

~~~

Sisa minggu berjalan normal.

Zaya yang menyerah menjelajah hutan, akhirnya memutuskan untuk membantu tabib--meski katanya kemampuan berobatnya masih buruk. Tabib menerimanya dengan senang hati. Diajarinya Zaya tentang berbagai macam tanaman herbal. Zaya serius mendengarkan. Sekali - dua kali bertanya tentang hal yang tak dimengerti.

Aku dan Elise tetap membantu di bagian hutan. Sesekali kita ikut romobongan nelayan. Ikut menyelam di antara terumbu karang seperti dulu. Menangkan ikan - ikan besar dengan tombak. Para nelayan berbaik hati mengajari kami cara menombak yang baik. Dengan cepat, tanpa kesulitan, kami sudah lihai menombak. Selalu membawa pulang ikan paling banyak.

ImaginationWhere stories live. Discover now