2. Tanda Tanya

8.7K 427 44
                                    

"Jangan coba dekat sama dia!"

Pelangi mengernyit. "Maksud kamu apa? Dia siapa?"

Cowok itu memejamkan matanya. Lidahnya terasa kelu untuk menyebut sebuah nama. Seolah nama itu memunculkan amarah besar serta luka yang kembali menganga. Cukup lama dia berusaha melupakan kejadian masa lalu, kini bayangan luka itu kembali memenuhi kepala. Memunculkan sekelebat kejadian menyakitkan dalam hidupnya yang sampai saat ini sangat sulit dia lupakan.

"Langit."

Rafka mendudukkan tubuhnya di kursi yang terletak di koridor. Tubuhnya seperti melemas. Tak berdaya. Hal itu menarik Pelangi untuk ikut duduk di samping lelaki yang baru ini menjadi kekasihnya. Dilihatnya Rafka menumpukan siku di kedua lutut dan dua tangan diletakkan di atas rambutnya.

"Maksud kamu Langit siapa, Raf?" tanya Pelangi bingung, jujur dia tidak tahu.

Rafka menoleh. "Cowok yang tadi di kantin. Jangan deket dia. Jangan bicara sama dia."

"Namanya, Langit? Kamu tau nama dia?" Penasaran, Pelangi bertanya lagi. "Emangnya kenapa? Aku cuma mau bantuin dia bersihin bajunya. Dia baik kok. Kemarin, waktu aku pergi ke perpustakaan dia yang nunjukin password wifi."

"AKU BILANG JANGAN DEKET DIA!!" teriak Rafka murka.

Terkejut, itulah yang Pelangi rasakan saat ini. Hingga matanya berkaca-kaca. Untuk pertama kali seseorang berteriak di hadapannya. Bahkan ayahnya yang selalu mengekang, tidak pernah berbicara seperti itu kepadanya. Pelangi diam sambil menundukkan kepala dalam-dalam. Begitu dia mendongak, air mata tak dapat dibendungnya dan berjatuhan ke pipi. Dengan cepat, Pelangi mengusap bulir bening tersebut dengan punggung tangannya.

"Aku nggak tau kenapa kamu marah karena cowok tadi. Tapi dengan kamu kayak gini buat aku kecewa, Raf. Sebelum ini nggak ada orang yang teriak di depan aku. Mama dan Papa sama sekali enggak pernah." Kalimat itu ucapan terakhir dari Pelangi, karena setelahnya, gadis itu beranjak dan berlari sekuat tenaga dengan air mata yang terus mengalir.

Rafka mengacak rambutnya dengan wajah yang kembali mengeras. "Sial!"

***

Hal yang paling Pelangi tidak suka ketika seseorang menyikapinya dengan kasar dan berbicara dengan nada tinggi. Entah kenapa, justru mengantarkan perasaan ketakutan di sudut hatinya. Menuju pulang ke rumah Pelangi menangis di dalam mobil. Dia telah menahan tangisnya sewaktu di kelas. Sampai pelajaran selesai gadis itu berlari menuju tempat parkir. Kedua temannya yang mengejar sama sekali tidak dia pedulikan.

Di dalam mobil tangisnya pecah. Perhatiannya teralihkan ketika ponsel berwarna putih di sampingnya berbunyi. Diliriknya ponsel itu tanpa semangat. Melihat siapa yang menelpon membuat Pelangi malah tidak ingin mengangkat.

Sampai 10 panggilan dari Rafka serta beberapa pesan masih Pelangi diamkan.

Ponselnya berbunyi lagi, kali ini dari Arin. Pelangi mengambil benda pipih itu kemudian menggeser layarnya dan mendekatkan ke telinga.

"Pelangi!!"

Astagfirullah.

Refleks tangannya menjauhkan ponsel itu. Ketika benda tersebut menjauh, telinga Pelangi berdengung akibat suara ajaib tadi.

"Kebiasaan banget sih, lo teriak-teriak," ungkapnya, di ujung sana Arin terkikik.

"Lo kenapa tadi langsung pulang? Terus dari kantin tadi mata lo sembab, kan? Hayoo... berantem sama Rafka, ya?" Arin menyerbu dengan berbagai pertanyaan. Pelangi terdiam. Belum juga menjawab, Arin seolah tahu betul keadaannya, lantas kembali berkata, "lo nangis karena, Rafka? Dia buat lo nangis?! Awas aja tuh anak. Gue cincang habis tuh."

Langit dan PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang