Renat memeluk Nadine erat sebelum akhirnya melepaskan pelukan tersebut dengan senyum menggantung di wajahnya. "Makasih ya, Tante." Renat bersuara penuh suka cita dan setelah itu mulai melangkah ke mobil yang sudah menunggunya di halaman rumah.
"Hati-hati, A," ujar Nadine pada Abi yang tengah duduk diam di balik kemudi. "Kalau kenapa-napa nanti Aa didemo sama Tante Gita." Abi mengangguk, lalu menoleh ketika tahu bahwa Renat sudah duduk di jok sebelahnya.
"Ayo, Pak Supir!" ajak Renat sambil tertawa. Dan Abi, seperti tersentil oleh tawa itu. Entahlah, seperti ada pemberitahuan yang tersirat dalam tawa Renat, bahwa Abi memang dapat mengubah Renat menjadi pribadi dulu.
"Hm," gumam Abi kalem. "Ke rumah mama kamu, kan?"
"No." Renat menggeleng. "Rumah bokap."
Abi hanya melirik Renat sekilas sebelum akhirnya mengangguk dalam diam. Tidak ada yang mereka bicarakan selama perjalanan, selain membiarkan suara lembut penyiar radio mengisi kekosongan di antara mereka. Renat sibuk dengan benda-benda yang ia lihat dari kaca mobil dan Abi yang terlampau fokus terhadap jalanan, seperti keberadaan Renat tidak ada.
"Bi, soal Haruka---"
"Nggak usah dipikirin, Re." Abi tersenyum samar. Karena memang benar, Nadine hanya mengundang Renat untuk datang dan tidak mengajak Haruka sama sekali. Lagipula, jika Abi diberikan kesempatan untuk mengajak, lelaki itu juga tidak akan melakukannya. Sebab, dia tidak ingin Renat semakin terluka. Dan cara terbaik memang meminta Haruka untuk pulang.
"Tapi gue nggak enak." Renat menjawab.
"Nggak enak kenapa?" tanya Abi. "Kamu sama aku juga temenan, kan? Kita satu kelas. Jadi kayaknya wajar-wajar aja kalau kamu main ke rumah aku. Ya, yang kayak Judith bilang, anggep aja tadi kita lagi belajar fisika bareng buat persiapan ujian."
Renat tertawa hambar, walau sedikit merasa tersanjung oleh kalimat tersebut. "Tapi, Bi, gimana juga tetep aneh. Lo sadar nggak kalau sikap lo yang berlebihan bakalan bikin orang jadi bawa perasaan?"
"Termasuk kamu?"
Renat tertawa untuk mengejek dirinya sendiri. Sudah kotor, sekalian saja dia bermain di lumpur. "Iya, termasuk gue."
Abi diam, sibuk dengan pikiran di kepalanya tentang perempuan yang kini duduk tepat di sebelahnya. Lelaki itu menggeleng pelan, malas bersuara dan memancing karena pada dasarnya ia tengah berusaha menahan sesuatu di dalam dirinya.
Sementara Renat yang didiamkan tidak terima. Perempuan itu mengacak rambut sebal. "Nggak usah dianter sampai rumah, gue mau sendirian dulu."
"Sendirian gimana?" sahut Abi bingung.
"Ya sendirian, nggak sama siapa-siapa."
"Iya aku tau. Ngapain kamu sendirian malem-malem?" tanya Abi ketika mobilnya berbelok ke kiri.
Abi menatap Renat dengan kernyitan di dahi. Karena jujur saja, dia tidak menyukai keinginan Renat yang satu ini. Menyendiri di malam hari di luar rumah bukanlah pilihan yang bijak.
"Apaan sih. Dilarang kepo."
"Kalau gitu aku anterin pulang. Pokoknya kamu harus pulang."
Renat memberikan tatapan tidak terimanya. "Yaudah kalau gitu turunin disini aja."
Abi menoleh datar, "Kamu nantangin?" ujarnya sangat jelas bahwa tengah menahan kesal.
"Iya. Mau apa lo?" Renat memberikan tatapan tajam pada Abi yang kini masih juga menatap Renat.
Namun perempuan satu itu tiba-tiba saja tidak bisa mengontrol degub jantungnya karena gerakan Abi yang terlalu cepat mendekat ke arahnya. Tapi pintu mobil yang terbuka membuat Renat tahu apa yang sudah Abi lakukan. Sialan, dia benar-benar diusir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Return
Teen FictionAda beberapa hal penting bagi Abi dalam hidup. Pertama, mama dan adik-adik perempuannya. Kedua, motor hitam kesayangannya. Ketiga, berkelahi. Awalnya hanya tiga point tersebut. Sampai sebuah kondisi dimana Abi merasa bahwa ia wajib menunjukkan tangg...