Is It Too Late Now To Say Sorry?

256 8 2
                                    

Ketika semua kejadian pahit ini sudah terjadi, aku tidak tahu harus memulai memperbaiki semua kesalahan ini kepada Justin dengan cara apa. Aku hanya terus membayangkan betapa jahatnya Grandis telah merusak semua yang akan menjadi bahagiaku, dan betapa bahagianya aku jika Grandis tidak merusak semua bahagiaku, apakah saat ini aku akan bersama Justin bila Grandis tidak merusaknya? aku tidak kuat menahan semua air mataku. Menunggu berbahagia bersamamu Justin, kukira ini mudah, ternyata tidak semudah itu. mencintaimu tidaklah mudah. Show me how to fight for now Justin...

Aku duduk di tangga sekolah disamping kelasku sambil menunduk , lalu tiba tiba aku melihat sepatu yang tak asing melewatiku begitu saja didepanku, aku tersadar dan melihat kearah ia pergi untuk memastikan bahwa itu Justin.. aku langsung berdiri dan mengejarnya tanpa peduli dengan rasa gengsiku. aku menggenggam tangannya dengan begitu saja, Justinpun berhenti berjalan dan melihat kebelakang, ke arahku. Aku lemas dan tak kuat menahan air mataku, tanpaku sadari aku mengeluarkan air mata didepannya.

"kak liv? kenapa nangis?"

"is it too late now to say sorry?" kataku sambil menghapus air mataku.

"kak, yaudah kan udah kejadian juga. ya mungkin kita cukup berteman aja, atau kita gatau kedepannya kaya gimana kak. untuk sekarang kayanya lebih asik kita berteman ya.. "

justin mengatakan itu dengan tersenyum melihatku, senyumnya tidak semanis biasanya, sama dengan apa yang dia katakan, pahit. dia menghapus air mataku dengan tangannya dan mengelus rambutku "dont't cry, gue ga pantes ditangisin kak.. masih banyak yang mau sama lo"

aku diam, rasanya ingin sekali aku semakin menjadi-jadi mengeluarkan air mataku, sakit. sangat terpukul mendengarnya, aku berusaha untuk berbicara tanpa menangis.

"ini bukan masalah pantes atau ga pantes, ini juga bukan masalah banyak atau sedikit yang mau sama gue justin. Ini hanya masalah salah paham. gue gak jadian sama Grandis."

"sshhhhh... kak, udah kejadian juga kan? udah gausah dibahas"

"harus dibahas! karena itu gak kejadian justin! gue ga jadian! gue ga balikan! itu belom kejadian!! ya gue jujur, gue sayang, gue kagum, gue suka sama lo! lo tau?! so hard for me buat bilang itu ke lo. susah! tapi sekarang gue coba untuk memberanikan diri bilang ini semua didepan lo" kataku tanpa sadar membentaknya. Justin hanya terdiam melihatku seperti itu, "ya, gue rasa udah jelas Justin, gue rasa lo emang ga bener bener ada rasa berjuang buat gue atau mau dengar pembahasan gue, lo bener bener ngelihat gue like nothing not something. its so easy for you" aku menjelaskan dan melihatnya dengan marah. "and ya.. i'll try to be what you want. tapi gue rasa kita ga harus berteman karena temen gue juga udah banyak" katanya dengan senyuman sinis, "gue akan coba untuk untuk menghilangkan segala perasaan gue yang berlebihan ke lo, gue akan coba lupain lo dan ga sama sekali ganggu hidup lo lagi, I'm done"

Aku pergi meninggalkannya, dan tangannya menarik tanganku kembali, aku melihat ke arahnya menunggu beberapa detik untuk melihat apa reaksinya. Dan ya.. ia hanya menggenggam tanganku tanpa mengatakan apapun. Hanya melihatku seperti tidak ingin kehilanganku, tetapi tidak ingin memilikiku. Aku melepaskan tanganku dari genggamannya,

"Justin, gue rasa seharusnya lo yang bilang 'is it too late to say sorry' now" aku meninggalkannya dengan senyumanku, dan aku juga mencoba meninggalkan semua perasaan sakitku bersamanya, perasaan yang bahkan susah ku tarik dari hatiku karena sudah jatuh terlalu dalam, sangat dalam. . . . .





Setahun kemudian,  aku sudah lulus dari sekolah itu, sekolah yang memiliki banyak sekali kenangan yang tak terlupakan. Aku hanya mempersiapkan diriku untuk melanjutkan studi ku di salah satu kampus di Bandung. Justin? dia tetap ada dibagian hatiku yang terdalam, sudah lama sekali aku mencoba mengalihkan perhatianku tentangnya, aku tidak lagi melihat ke arah jendela kelasku dan berharap ia melewati kelasku, aku tidak lagi mencuri pandang kepadanya saat bertemu di kantin, aku tidak lagi menunggu balasan tatapannya kepadaku dan tersenyum padanya di lapangan sekolah, aku mencoba untuk tidak lagi menjadikan dia sebagai semangatku untuk berangkat ke sekolah.

Setahun kemarin memang tidaklah mudah untukku, tapi ini semua untuk kebaikan diriku sendiri untuk tidak menyakiti hati dan perasaanku, yang ku ingat darinya untuk terakhir kalinya adalah ketika kelulusan akhir sekolah dimana ia ingin sekali mengucapkan selamat atas kelulusanku tetapi dia hanya melihatku dari kejauhan.. oh Justin, semoga kelak dirimu kepada gadis lain yang mencintaimu,tidak mementingkan gengsimu.


Ketika sedang merapihkan baju-baju  untuk ku kemas, muncul notification dari whats app. dengan nomer yang tidak ku kenal. Aku membuka profilenya dan ya, itu Justin. aku sangat tidak menyangka, aku terdiam dan tak tau apa yang harus ku rasa ketika membaca chat darinya.

"Livia, sibuk kah nanti sore? aku tunggu jam 5 di taman kota ya, and I'm sorry. Is it too late?"

Dear Heart, Why Him?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang