Saudari-saudari Carlotha semuanya sedang berkumpul di megapolitan, liburan, hepi-hepi, makan-makan dan belanja-belanja pastinya.
Nasib aku harus serumah dengan mereka, maklum aku menumpang di rumah saudara jauh. Yang mereka juga tumpangi, maklum saudara ini baik dan rela saja rumahnya diisi perempuan-perempuan rantau cunguk yang kebingungan. Kami semua adalah perempuan-perempuan yang gayanya banyak bagai pemenang ratu kecantikan dari kolong jembatan, perempuan-perempuan cantik merasa pintar dan banyak akal, tapi sempurna dengki dan irinya. Ah ingin kukatakan 'cuihhh!' tapi yah sudahlah...
Tersaruk-saruk dengan bedak cemong berembun karena udara panas, kususuri lorong-lorong kecil pasar di depanku, mengekor kepada mereka bagaikan dayang-dayang. Aku haus dan lapar, kakiku juga mulai sakit menolak dirayu. Sudah hampir dua jam kelilingan di pasar ini, Pasar Atum, surga belanja perantauan dari seluruh Indonesia dan dunia kalau boleh ( hiperbola ).
Pasar Atum yang sempurna, bagaikan serencengan raksasa gula-gula berhadiah. Semua ada, sandal japit, sepatu Hongkong, baju kaos, baju pesta Marimar, gunting kuku, bola kaki, korek kuping dari kayu, teh kotak, korden, sampai alat khusus memancungkan hidung!
Dan yang paling penting, tumpah ruang segala jenis jajanan pasar, camilan, es-es manis, makanan berat mulai dari mie goreng, tahu campur, soto kikil, pangsit mie, ayam goreng, sate daging, sate puyuh, nasi cumi itam dan masih ada ribuan menu makanan lain yang tidak main-main menawarkan pesonanya!
Berhentilah kami akhirnya di toko baju yang cukup besar. Pemiliknya sendiri yang turun tangan melayani, maklum yang mau belanja adalah perempuan-perempuan yang merasa paling terkenal di kampungnya ( haha ).
Sang pemilik, wanita berumur sekitaran lima puluh tahunan, dengan kulit wajah anak gadis dan dandanan konser ala Mulan Jameela tersenyum manis selebar irisan semangka segar. Ada lipstik merah di gigi depannya.
Carlotha and sisters dengan lincah berbelanja, jari jemari mereka menyusuri hanger baju-baju pesta dan baju-baju atasan yang cantik berumbai.
Berhelai-helai baju terusan, baju atasan telah berpindah ke dalam kantong-kantong belanjaan dari paper bag yang cantik menyala bagaikan lampu disko.
"Ini buat kakak ipar, ini juga, ini juga..." kakak tertua Carlotha yang murah hati mengambil beberapa lembar baju terusan yang berwarna buah-buah segar, hijau, merah dan kuning bercorak. Juga sepasang sepatu tinggi bertali orens. Semua buat kakak ipar.
Aku yang mulai bosan, iseng-iseng melihat-lihat ke beberapa gantungan baju yang tersendiri di pojok paling kanan. Atasan kaus-kaus biasa, mungkin yang paling murah di kelasnya, tempatnya saja sudah nyaris tidak kelihatan.
Ada sehelai kaus berwarna putih kombinasi hitam, dari bahan semi rajutan yang ringan. Aku berandai-andai, nanti kupake ke kampus kalau kuliah hari pertama.
"Yang ini berapa?" tanyaku pelan. Takut kedengaran dengan yang lain, Mulan Jameela tersenyum, "Semua yang digantung di situ, hanya lima puluh ribu saja!"
Wah, hatiku senang bukan buatan, di dompet nylonku ada dua lembar uang lima puluh ribuan. Berarti bisa dapat dua, asyikkk, baju ke kampus bertambah satu!
Aku akhirnya memilih-milih model kaus yang lain. Ada kaus berkerah berwarna hijau muda pupus yang ceria dengan tulisan bordir dari benang perak yang kecil di ujung kanannya, tulisannya Fendi. Entah apa pula itu, aku tak terlalu memikirkannya. Yang penting murah.
"Bagus itu, pas cocok buat kamu Non," Mulan Jameela terdengar tulus.
Aku sudah siap mengeluarkan lembaran uang lima puluh ribuanku yang terakhir, ketika aku mendengar suara melengking jengkel keberatan, "Kamu cocoknya hanya sama warna hitam atau putih saja!"
Aku menoleh, wajah Carlotha yang cantik mencungul menyeringai dengan senyum lucifernya. Hidungnya mancung dan tajam, matanya besar berair berkilat jahat. Ah lagi-lagi bintang telenovela terkenal ini belum puas juga menggosok-gosok taringnya.
Hanya mereka saja yang pantas mengenakan baju artis dari Pasar Atum.
Jangan memaksakan diri untuk bergabung dengan sekumpulan rubah-rubah betina, terutama jika lidahmu tidak selancang mereka untuk bisa membalas. Tertanda...mulai letih dibully.
KAMU SEDANG MEMBACA
1997 - Menuju Paris
Short StoryKisah tentang anak SMP kelas 2 yang bercita-cita muluk ingin menginjakkan kakinya di Paris, memandang ke langit Paris, dan berdiri mematung di depan lukisan The Last Supper - Leonardo da Vinci. Apa dayanya, di celengan kalengnya hanya ada sebelas ri...