Carlotha kumat lagi, dengan biji mata kuacinya yang hitam pekat, memandang jengkel ke arahku, yang lagi memasang ikat pinggang. Celana jinsku kedodoran.
Hampir dua bulan terpaksa kami berhadap-hadapan, pandangan bencinya tergambar jelas, entah akan dikemanakan. Bibir cantiknya yang memerah itu tak henti-hentinya disia-siakan untuk menghina apa saja yang ingin dihinanya. Atau apa saja yang ingin disambar dengan lidahnya yang bercabang-cabang itu.
Sayang sekali, aku hanya bisa memaki dalam hati, kurang berani menghadapinya. Selain itu, malu, lagi menumpang di rumah orang apakah harus berkelahi dengan sesama penumpang?
"Buang ikat pinggang kampunganmu itu, memalukan!" hardiknya. "Kampungan!"
Aku diam saja, kalau kubuang, harus ke mana kucari gantinya? Tali rafiah? Saldo di ATM juga sudah sangat menipis, kasihan mamak, anaknya lagi dirantau orang, kalau terus-terusan minta kiriman uang, yang di kampung bisa kurus kerontang jatah makan sisa tujuh butir nasi.
"Tidak malu kau itu menumpang lama-lama di sini," katanya lagi santai.
Aku hanya muntah dalam perutku sendiri, bukankah Carlotha juga sama-sama menumpang? Dalam hati, kubayang-bayangkan kapan bisa segera dapat kos-kosan, kapan kuliah segera dimulai dan bisa tinggal di kos-kosan saja. Semiskin-miskinnya, hantu telenovela ini tidak akan merajai semua pandangan dan pendengaranku.
Yah begitulah, Carlotha yang cantik, idola dari kampung, bermata elang, tinggi semampai nyaris kekar, ditolak di kampus tempatku mendaftar. Carlotha akhirnya diterima di kampus lain dengan uang pangkal bombastis untuk menebus sedikit...sebagian otaknya yang hilang? Apa pun itu aku bersyukur tiada tara, menari-nari ala Hiawata, untunglah aku tidak sekampus dengannya!
1997 istilah bully belum populer. Pada saat itu aku hanya merasa diremehkan, karena tidak keren? Dompet isinya tebal karena dijejali lembaran uang puluhan ribu dan seribuan saja, ini juga kali pertama aku menginjak kota besar. Baju-baju yang kubawa dari kampung pun baju-baju lusuh andalan sudah terpakai satu kali masa jabatan presiden masa kini. Orangtua pun bukan tipe anjing herder, mengadu ke mereka percuma, malah akan dinasehati untuk menghindar saja.
Mana bisa menghindar? Seperti lagu Katon Bagaskara, bayang wajahnya menghantui di mana-mana. Aku terjebak, dengan pilihan bisa langsung angkat kaki dari rumah indah ini dan langsung mencari kos-kosan. Tapi dasar udik, aku ketakutan sendiri. Belum berani karena masih proses pendaftaran ulang. Belum jelas semua bakalan bagaimana.
Odol dan shampo dengan semena-mena habis di kamar mandi. Kubeli dengan uang pribadiku. Tapi ada yang ikut menikmati tanpa sungkan. Oh ya tidak seberapalah harga barang-barang itu, tapi yang mengerikan itu mulutnya dan perbuatannya tidak sesuai. Aku yang kampungan ini...kenyang dipandangi dengan penuh benci. Aku hanya bingung apa salahku? Apakah karena aku juga cantik? Ataukah karena aku cantik tapi di matanya ndeso tidak layak ke sana ke mari dan menumpang dalam rumah ini? Yah beginilah kalau sama-sama penumpang, satu penumpang princess dan satu kernet.
Aku diam saja dan cepat-cepat keluar dari kamar, mencari kedamaian di tempat lain. Di belakang ada taman yang hijau dan asri, ada kolam besar berisi ikan koi raksasa. Aku duduk-duduk di sana sebentar, sambil berpikir...punya hak apa perempuan jahat itu atas hidupku dan pilihan-pilihan pribadiku.
Aku akhirnya kembali masuk ke kamar, ada buku bacaan yang ingin kuambil. Di dalam Carlotha melotot-lotot lagi, biji matanya sudah seperti akan melompat dari wadahnya. Aku terheran-heran, apa kali ini dia kerasukan?
"Hilangggggg!!!" jeritnya gemetar. Jari-jarinya membolak-balik dompet hitam merk Versace dari pusat kerajinan Tanggulangin, Sidoarjo. "Uangku hilang!!!"
"Hah?" Kali ini aku yang nyaris kerasukan, mampus, bisa-bisa aku yang dituduh habis-habisan. Aduh meong...
"Uangku hilang tiga ratus ribuan lebih! Sialan, Mbak Esmeralda masuk ke dalam kamar tadi pagi, membersihkan sebelum pulang kampung! Sialan!"
"Oh," Aku menjadi heran mengapa uang dalam dompetku juga tidak disikat sekalian? Toh sama-sama tergeletak begitu saja tadi pagi, dalam tas kainku di lantai. Apa karena Mbak Esmeralda kasihan yah isinya perih nian.
Carlotha masih meraung-raung sendiri meratapi kehilangannya. Aku balik badan, keluar dari kamar, emoh menjadi korban makiannya.
Aku menutup pintu di belakangku, senyum selebar seringai kucing kakak tiri Cinderella kusunggingkan. Pembalasan ternyata datangnya dari orang lain!
![](https://img.wattpad.com/cover/115489267-288-k592440.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
1997 - Menuju Paris
Short StoryKisah tentang anak SMP kelas 2 yang bercita-cita muluk ingin menginjakkan kakinya di Paris, memandang ke langit Paris, dan berdiri mematung di depan lukisan The Last Supper - Leonardo da Vinci. Apa dayanya, di celengan kalengnya hanya ada sebelas ri...