1. Nice Guy

41.4K 1.1K 14
                                    

"DIAM!"

Lagi-lagi suara stereo Papa yang memekakkan telinga menggema. Jantungku tak mau kalah, ikut berdetak kencang ala subwoofer rumah tetangga sebelah. Aku menarik napas panjang dan menghembuskan sekaligus. Tenang, Key. Tenang!

Huh!

Telapak tanganku basah dengan keringat, sementara punggungku terasa dingin. Ditambah kepala yang mulai terasa sakit dan mata berkunang-kunang. Huh! Itu bukan gejala masuk angin, tapi alarm di otak sudah menyala. Waktunya pergi!

"Pa! Ma! Key berangkat!" Aku membanting pintu kuat-kuat agar mereka tahu kalau aku sudah bosan. Seharusnya aku tidak menolak ajakan Irna untuk berangkat bersama pagi tadi. Kalau seperti ini terus, lama-lama aku dan Irna bisa ikutan gila!

Sejak perusahaannya gulung tikar, Papa jadi pemarah. Mama juga semakin suka menuntut. Padahal, impianku untuk kuliah sudah kandas demi mempersatukan mereka.

Tabungan selama tiga tahun magang di Kedai Kopi milik Bu Waty, kini hanya tinggal kenangan. Sia-sia bekerja demi bayar sekolah dan kuliah, karena akhirnya keadaan mengharuskanku bekerja fulltime untuk biaya seluruh keluarga.

Huh! Lagi-lagi aku hanya bisa mendesah. Sebuah kaleng kosong yang tergeletak begitu saja di tengah jalan menggelinding kecewa terkena tendangan tanpa bayanganku.

Langit mulai mendung. Aku harus segera tiba di sana. Jendela-jendela yang terbuka di lantai dua dan tiga bangunan di sisi jalan, masih menawarkanku mengintip. Meski di batasi dinding tinggi hingga menutupi pandanganku, tapi warna merah putih di bagian atas gedung itu seolah mengejekku, menantangku untuk terus menatapnya.

Kalau saja perusahan Papa tidak bangkrut, mungkin sekarang aku sedang belajar di salah satu ruangan itu.

"Aduh! Hei!" Sial! Balita itu sudah menjatuhkan ponselku!

"KEVIN! Jangan cepet-cepet dong, Bunda capek!" Seorang Ibu muda berlari sambil mengikat seluruh rambutnya ke belakang. "Maaf, Mbak."

Aku mengangguk maklum. Sementara Balita itu bukannya berhenti, malah ambil ancang-ancang untuk menyeberang. Astaga! Secepat kilat aku menangkap si pria kecil sebelum terlindas mobil. Hampir saja!

"Mobil sialan! Nggak lihat ada anak kecil!" teriakku mengutuk mobil sedan kuning mewah yang baru melintas tanpa klakson. Tadi mobil itu berputar di bundaran komplek sepi, nyaris menabrak Kevin. Mobil kuning itu melambat. Tangan putih pucat terlihat melambai keluar dari jendela, tapi mobil itu tidak berhenti. "Dasar!" teriakku lagi.

"KEVIN!" teriak Ibu muda yang berlarian tadi sambil melotot. Wajahnya memucat dengan tangan di dada. Wajar saja. Aku sendiri hampir kehabisan napas dan tenggorokan ikut terasa kering. Meski berhasil menarik tangan mungil Kevin dan memeluk tubuh kecilnya, wanita itu masih terlihat cemas. Untung saja anak itu selamat!

"Terimakasih."

Wanita yang memanggil dirinya sendiri Bunda itu mendekat. Wajah tirus dengan mata sedikit sembab, tertutup riasan ala kadarnya itu hanya menatap sendu. Tak ada sedikitpun senyum. Sepertinya wanita itu baru selesai menangis. Sementara Kevin masih cengengesan dalam pelukanku, menyambut uluran tangan bunda yang mengusap ujung matanya dengan lengan baju.

"Hati-hati, Mbak! Di komplek sini banyak kendaraan," ujarku sok tua.

"Iya. Saya tahu. Kadang saya kewalahan ngadepin anak ini!" Wanita itu memeluk Kevin dan mengecup pipinya. Kevin tertawa senang, sama sekali tidak mengerti apa yang sudah dilakukannya barusan. Dasar bocah!

"Papa Kevin pemalas!" sungut wanita itu. "Bangun tidur selalu siang, susah sekali disuruh kerja. Padahal namanya gojek, pagi begini pasti banyak pelanggan."

Stay With The Prince (Completed On Platform KUBACA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang