Kubanting pintu dengan keras. Papa dan Mama masih sibuk berteriak satu sama lain. Sejak Mama pulang, kedamaian di rumah ini justru pergi. Mama dan damai memang tidak akur. Mama tidak puas, meski baru saja pulang liburan bersama teman-temannya, tentu dengan menghabiskan tabungan Papa. Padahal bulan ini Irna belum bayaran sekolah. Aku menarik napas panjang. Lagi-lagi harus kasbon. Mungkin Bu Waty mulai kesal karena hutangku semakin menumpuk.
Ponsel di tanganku kembali berdering. Aku memang sengaja tidak mengangkat telepon dari Roy. Pria itu pasti bisa mendengar suara teriakan Mama dan Papa. Walaupun dia tahu keadaan keluargaku, rasanya tetap tidak pantas kalau dia mendengar Papa dan Mama yang saling teriak.
Suara ketukan di pintu membuat jantungku berdetak nyaris beberhenti dan keringat dingin mengalir ... mungkinkah itu Roy?
Tiba-tiba Irna keluar dari kamar, berjingkat-jingkat menghindari ruang tengah yang tidak berpintu, di mana Papa dan Mama asyik saling memaki. Aku yang tengah mematung di sofa mengawasinya mencapai pintu depan. Irna nyaris terjatuh melihat sosokku yang kaku dan membelalakkan mata.
"Astaga! Kak, Please deh!" serunya. Kalau perasaanku tidak segelisah ini, tampangnya barusan sudah membuatku terpingkal-pingkal. Tapi dengan ketegangan kami yang mulai akut, membuat senyumku ikutan surut. Irna sendiri cepat menguasai dirinya, "Ini hari Sabtu, aku bosan di rumah, Kak!"
"Kamu kan bisa bilang kalau mau main, nggak usah ngumpet-ngumpet kayak maling!" gerutuku sambil bernapas lega. Ternyata teman Irna. Perhatianku kembali pada Langdon, tokoh kesayangan dari novel tebal yang kupinjam dari Vina.
"Astaga!" Seru Irna lagi. Aku menoleh ke pintu.
"Roy?" bisikku tak kalah terkejut. Pria itu menatap dengan wajah polos dan senyum manis tanpa menyembunyikan lesung pipinya.
"Lama sekali!" gerutu pria itu saat kuhampiri.
Irna masih membelalak takjub. Di belakang Roy terlihat beberapa anak muda dengan jaket serba hitam, lengkap dengan motor-motor besar dan aksesori dari besi yang nyentrik.
"Siapa mereka, Ir?" tanyaku ketus.
"Itu Roni, teman sekelas. Kami hanya mau keliling Jakarta aja kok, hari ini. Aku janji nggak akan macam-macam." Irna berusaha meyakinkanku. "Terus, bule ini ...?"
"Saya Roy.Temannya Key." Roy mengulurkan tangannya yang segera disambut Irna antusias.
"Syukurlah! Aku punya calon kakak ipar yang super ganteng! Mobilnya juga keren!" pujinya sambil menatap mobil sport kuning yang terparkir di halaman. "Kak Key beruntung sekali! Ajak dia keliling, Kak! Kak Key itu rada kuper, belum pernah pacaran dan sok jual mahal!" promosi Irna. Aku membelalakkan mata. Bibirnya yang nyaris tak punya rem itu harus dihentikan!
"Ups maaf, Kak! Aku pamit!" teriaknya sambil berlari menghampiri teman-teman anehnya.
Aku ingin mengejarnya, tapi Roy menahan tubuhku. "Biar saja dia, Key, sesekali anak remaja juga butuh bergaul!"
"Tapi, dia adikku, Roy!" protesku.
Roy tertawa geli. Sementara dari dalam, suara jeritan Mama kembali terdengar, ditambah bentakan Papa. Tubuhku menegang seketika. Jangan lagi, please. Jangan di depan Roy!
"Kamu memang butuh udara segar. Butuh piknik!" tukas Roy sambil melingkarkan lengan ke bahuku, menyeretku ke luar. "Kita ke sea world, yuk!" bisiknya.
Aku terperanjat. Aroma wood dari dada pria itu menempel erat di hidungku yang kini berada di ketiaknya.
"Duh," Tak tahu apa warna mukaku saat ini, yang jelas jantungku tak mau diam. Bagaimana ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay With The Prince (Completed On Platform KUBACA)
ChickLitMemiliki keinginan dan impian itu bukan dosa. Tapi, untuk sebuah keinginan besar, tentu ada pengorbanan yang besar juga! Mendahulukan kepentingan orang banyak, serta mengorbankan diri demi kebahagiaan orang lain adalah salah satu jalan untuk mempero...