2. Dear Roy

20.5K 731 5
                                    

Sudah dua hari Mama pergi. Aku, Irna, bahkan Papa tidak berusaha mencarinya. Aktivitas di rumah juga tidak ada yang berubah, semua berjalan seperti biasa. Sementara ini aku bersyukur bisa merasakan ketenangan. Apalagi, beberapa hari ini Roy selalu mengantarku pulang. Biasanya, pria itu akan datang beberapa menit sebelum kedai kopi tutup. Setidaknya, dia sudah membuat hari-hariku lebih ceria.

Aku menatap cermin sedikit lebih lama. Ini hobi baruku sekarang, yaitu menggambar alis! Aku tersenyum sendiri menatap wajah baruku. Akhirnya tampang standar ini bisa disulap lebih dewasa. Hal yang belum pernah kulakukan sebelumnya! Aku bisa mengoleskan sedikit pemerah pipi, mencoba maskara pemberian Vina, mengoleskan pemerah bibir, dan lain-lain.

Aku sedang mencoba membuat garis mata saat Papa membuka pintu dan seseorang menyebut namaku.

"Pagi Om. Saya teman Keyzia ... Roy."

Aduh! Suara itu sukses membuatku mencolok mata dengan eye liner. Rasanya pedih sekali saat kuas hitam itu menyentuh bola mataku! Sial!

Telingaku pasti sudah berdiri semua. Suara yang tak asing. Ada apa Roy menjemput sepagi ini? Untung saja Irna sudah berangkat sekolah. Kalau tidak, dia pasti merengek meminta Roy berdiri di gerbang sekolah sampai semua teman-temannya lewat! Cepatku rapikan dandanan dan bergegas ke ruang tamu. Pensaran bisa membuatku mati!

Aku menarik napas panjang beberapa kali, sambil memuntir rambut yang masih sedikit basah, dan menggelungnya.

Astaga! Jantungku seakan hampir lepas. Apa yang dibicarakan pria itu dengan Papa? Aku takut menebak-nebak. Susah payah kuseret kedua kaki yang tiba-tiba berat ke ruang tamu. Lututku lemas, keringat dingin bahkan membasahi ketiakku.

"Key ...." Suara Papa terhenti melihatku terpaku di depan kamar, dengan mulut menganga. Papa tertawa kecil dan kembali ke ruang tamu.

Aku menghirup napas panjang sekali lagi sambil melangkah di belakang Papa. Aroma tubuh Roy yang khas seakan menggelitik hidung, menjerat saraf di kepala. Pria itu selalu berhasil membuatku kikuk dan tampak bodoh setiap berhadapan. Ingin sekali aku melihat bagaimana wajahnya sendiri. Mungkin pucat, merona, atau bahkan berubah-ubah seperti lampu disko!

Ada getar aneh di dada yang mengambil alih kesadaranku setiap tatapan kami beradu. Sangat halus meresap ke dalam hati. Senyum tulus pria itu yang mengembang, ditambah lesung pipit yang mempesona. Lidahku kelu, tak tahu mau bicara apa. Yang jelas, lututku seolah kehilangan tulang, hingga hampir jatuh terduduk di lantai. Roy memperbaiki posisinya dengan salah tingkah saat melihatku muncul.

Tiba-tiba dia berdiri dan mengulurkan tangan. Tubuhnya yang tegap semakin tampak seksi dan berotot, meskipun terbalut kemeja putih lengan panjang yang digulung separo. Dadanya yang bidang terlihat dari balik kemeja bagian atasnya yang sengaja tidak dikancing, terlebih saat pria itu membungkuk.

Aku menyambut uluran tangannya, lagi-lagi dengan sedikit gemetar, lalu duduk canggung di antara Papa dan Roy.

"Tumben datang ke rumah. Pagi-pagi, lagi!" tukasku berusaha melawan rasa canggung.

Bukannya menjawab, pria Hollywood itu duduk di hadapanku sambil tersenyum. Aku berdehem, berusaha mengeluarkan sesuatu yang sepertinya tersangkut di tenggorokan, lalu menelan ludah.

"Kalian kenal di mana?" Papa menginterogasinya dengan wibawa yang dibuat-buat.

Diam-diam Aku menarik napas dan membuangnya perlahan. Untung saja Papa mengerti situasi anak gadisnya. Tapi, kalau Papa saja bisa tahu isi hatiku, jangan-jangan Roy juga! Aku berusaha bersikap normal dan mengalihkan perhatian pada jawaban pria itu.

"Saya sering makan di kedai kopi tempat dia kerja," jawab pria itu tenang.

"Oh ...." Papa manggut-manggut seperti boneka hawai di dasbor mobil. "Jadi, kamu ke sini mau jemput Key?" Papa tersenyum dan mengulurkan tangan. Hampir saja aku menyambut uluran tangan Papa saking gugupnya. Untung saja gerakan Roy lebih cepat.

Stay With The Prince (Completed On Platform KUBACA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang