Prolog

452K 19.1K 1.5K
                                    

Hai, sebelum baca cerita ini cuma mau ingetin, akan ada beragam sudut pandang di sini. Baik dari anak, orang tua, adik, kakak. Cerita ini mengandung tema kesehatan mental. Jadi, diharapkan jangan ada yang adu nasib ya. Contoh : ah, baru juga begitu, banyak yg lebih susah dari kamu. Tolong buang mindset itu dulu kalo kamu mau memasuki karakter yang ada di sini. Kalo enggak, nanti jadinya dengki huehe.

Absen dulu yuk, kalian tau cerita ini dari mana?

Kalian tim baru baca

Atau tim baca ulang?

***

Rumah-rumah padat penduduk, menciptakan banyaknya gang-gang sempit serupa lorong yang menghubungkan satu tempat ke tempat lainnya. Genangan air yang sesekali menciprat saat anak-anak kecil berlarian di dalam gang, warung-warung kecil yang menjajakan dagangannya, tembok yang penuh dengan coretan-coretan tidak berbentuk, mewarnai perjalanan Retha dalam menyusuri salah satu pemukiman padat penduduk di kawasan Jakarta Barat.

Retha mengeratkan pegangan tangan pada kekasihnya, yang berjalan di depannya karena jalanan yang terlampau sempit untuk dilewati dua orang dewasa sekaligus. Sepanjang jalan, ia didera rasa takut yang tak kunjung meredup. Setiap langkahnya semakin menerbitkan rasa khawatir yang tak kunjung reda.

"Than, aku haus." Retha menarik tangannya tanpa melepaskan tautannya dengan tangan Gathan. Langkahnya terhenti, membuat lelaki yang berjalan di depannya menoleh.

"Udah keburu sore loh, Tha. Nanti keburu tutup," sahut Gathan.

"Beli akua doang sebentar. Kita udah jalan jauh banget loh, dari tempat kamu parkir mobil."

Gathan menghembuskan napasnya, lalu mengangguk setuju. "Yaudah, cepetan. Aku tunggu sini."

Retha melepaskan pegangannya dengan Gathan, berbalik arah untuk menghampiri warung kecil yang tadi sempat dilewatinya. Dalam setiap langkahnya, ia kembali memikirkan perihal keputusan yang ia ambil.

Ia meremat kesepuluh jarinya, membuat tangannya kini mengepal. Keraguan kembali terbit dalam benaknya. Apakah langkah yang akan ditempuhnya merupakan pilihan yang tepat?

"Nyari apa, Neng?"

Suara pemilik warung menyadarkan Retha dari lamunannya. Tanpa sadar, ia sudah berdiri di dekat warung kecil dalam gang yang dilaluinya.

"Akua satu, Bu." Retha menyodorkan uang lima ribuan pada pemilik warung, tangannya membuka showcase yang berada di depan warung, lalu mengambil sebuah air mineral.

Setelah menerima uang kembaliannya, Retha kembali pada Gathan yang masih menunggu di tempat tadi. Matanya kini menerawang jauh saat menatap sosok lelaki yang dipertahankannya mati-matian, tak peduli dengan suara-suara protes yang dilayangkan orang-orang disekitarnya, mengatakan bahwa Gathan tidak baik untuknya.

Sejak bersama Gathan, Retha tidak membutuhkan teman - tepatnya semua temannya memilih meninggalkannya -, ia juga tidak memedulikan ucapan Rafka, kakaknya yang kerap kali menentang hubungannya. Pendapat kakak sialannya itu, membuat kedua orang tuanya ikut tidak menyukai Gathan.

Retha berdecak. Untuk urusan Rafka, lelaki itu memang hobinya selalu menyalahkan keputusannya. Maha benar Rafka dengan segala ucapannya, gara-gara memiliki kakak yang sok tahu, hidupnya bergulir dengan menjadi bayang-bayang Rafka.

Penentangan Rafka terhadap Gathan, justru menjadi salah satu hal yang memperkuat keyakinannya untuk terus bersama lelaki itu. Ia akan mematahkan argumen Rafka, bahwa pilihannya tidak salah. Sekali saja, Retha juga ingin mengambil keputusan. Ia berhak atas keputusan yang diambil atas kelangsungan hidupnya.

"Yuk." Gathan kembali menggenggam telapak tangan Retha, menuntunnya untuk terus menyusuri gang sempit yang bahkan tidak bisa dilewati motor.

Lima belas menit berjalan kaki, keduanya sampai pada bangunan yang lebih mirip disebut gubuk. Meski tidak terbuat dari bilik, cat-cat tembok yang mengelupas sukses memberikan kesan mengerikan, terlebih saat menyadari aksi apa yang dijalani di dalam sana.

Retha sampai mundur beberapa langkah karena ketakutan. Keraguannya semakin besar untuk melakukan hal yang diinginkan Gathan.

"Aku takut...." Suaranya bergetar, keraguan tampak semakin jelas terlukis di wajahnya.

Gathan mendengus. Dengan sabar, ia mendekati Retha. Digenggamnya kembali tangan itu, berusaha menyalurkan energi kekuatannya.

"Sayang," panggilnya lembut. "Trust me, everything's gonna be okay."

Retha menggeleng. Ucapan Gathan seolah tak mampu menenangkan perasaannya.

"Aku gak mau. Kita bisa bilang ini ke orang tua aku, mungkin mereka akan marah beberapa hari, tapi setelahnya mereka bakal tetep nerima kita kok."

"Gimana sama orang tua aku? Mereka jelas gak bakal terima. Tha, kita masih muda."

Retha terdiam beberapa saat, memikirkan kembali konsekuensi yang akan dihadapinya. Umurnya baru dua puluh tiga tahun, baru satu tahun yang lalu ia menyelesaikan jenjang sarjananya. Enam bulan menganggur sebelum akhirnya mendapatkan pekerjaan. Menikah muda - serta menjadi ibu muda - jelas tidak bagus untuk karirnya.

"Retha...," panggil Gathan lembut. Lelaki itu meraih pipinya, mengangkat wajahnya untuk bersitatap dengan sorot mata yang kerap kali meluluhkannya. "Bahkan setelah keluar dari sini, aku janji gak akan ninggalin kamu."

Retha mencari kesungguhan dalam tatapan itu. Berdasarkan banyak pertimbangan perihal masa depannya, ia akhirnya mengangguk pasrah.

Akan ditempuhnya rasa sakit yang kemungkinan hanya akan berlangsung beberapa jam. Setelah itu, hidupnya akan kembali normal.

Retha akhirnya melangkah masuk ke klinik aborsi ilegal. Di dalam bangunan, tersedia ruang tunggu bagi para pasien yang antre. Sementara ia duduk di kursi panjang yang tersedia, Gathan mengisi berkas-berkas untuk keperluan administrasi, kemudian ia tinggal membubuhkan tanda tangannya saja.

Saat gilirannya tiba, ia memasuki sebuah kamar tempat dilangsungkannya 'operasi' itu.

Seumur hidup, Retha tidak akan melupakan kesakitan yang dirasakannya tatkala benda asing merobek alat vitalnya. Bahkan ia ragu masih bisa keluar dari ruangan ini dalam kondisi bernyawa. Ajal terasa begitu dekat, seolah malaikat pencabut nyawa sudah siap menjemputnya, untuk kemudian menyerahkannya pada malaikat penjaga neraka.

***

Hai yang menemukan cerita ini setelah complete, masa udah gak perlu stres nungguin update gamau vote dan komen sih, jangan gitu dong, okay! Tetap kunantikan jejak-jejak kalian.

Win-Win Solution Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang