- 4 -

155K 11.2K 457
                                    

Pukul sebelas malam, Retha mendorong pintu mini market dengan malas. Langkahnya terasa berat untuk sampai ke tempat ini. Ia sudah nyaris terlelap di kamar hotel yang sudah Gathan pesan, sampai lelaki itu menelponnya untuk menyuruh membeli alat kontrasepsi.

Retha meremas tangannya selagi menahan emosinya. Gathan benar-benar berengsek. Lelaki itu sedang berada di jalan, menuju hotel tempat mereka bermalam, mengapa harus ia yang turun ke bawah untuk membeli pengaman sialan ini, sedangkan yang nanti akan memakainya adalah Gathan?

Padahal, ada alternatif lain, yang mana lelaki itu bisa mampir sebentar saat di perjalanan. Namun, entah sudah berlangsung berapa lama, Retha tidak pernah mampu mengutarakan pendapatnya terkait setiap hal yang berhubungan dengan perintah Gathan. Ucapan Gathan bagaikan hukum negara yang sudah sepatutnya ia patuhi, jika melanggar, ada hal besar yang siap menantinya.

Jadi, setiap emosi yang dirasakannya hanya sampai pada tenggorokan, tanpa mampu untuk dikeluarkan.

Tangannya sudah terulur untuk mengambil produk pengaman yang terpajang di samping kasir. Namun, belum sampai menyentuh produk tersebut, ada tangan lain yang baru datang dan mengambilnya lebih cepat.

"Sori, tadi saya dul-" Ucapan Retha tertahan saat menoleh ke samping, mendapati sosok yang mencuri produk yang dilihatnya lebih dulu.

"Tapi gue duluan yang ngambil." Lelaki itu tersenyum seraya menunjukan produk pengaman yang berhasil diraihnya. Ia dapat memastikan, produk yang terpajang tinggal tersisa satu, sebab ia tak lagi melihat adanya produk lain yang sejenis terpajang di etalase.

"Sialan!" Retha mengumpat tanpa perlu mengecilkan suaranya. "Lo baru dateng, dan langsung nyerobot. Balikin ke gue, cepetan!"

Bagas menahan senyumnya melihat wajah Retha yang geram. Wanita di hadapannya ini, bahkan tidak repot-repot terkejut atau malu karena tertangkap sedang membeli alat kontrasepsi yang kegunaannya sudah jelas untuk apa.

Mengingat apa yang pernah dilihatnya di tangga darurat, tentu saja bukan hal aneh saat mendapat Retha membeli kondom.

"Gue yang lebih butuh. Lo 'kan nginep di rumah Vina, ngapain juga pake kondom." Bagas tersenyum lebar mendapati Retha yang lagi-lagi mengumpat.

Bahkan Bagas sudah mengetahui kebohongannya. Namun, lelaki berengsek ini dengan sengaja memperjelas hal itu.

Melihat kunci mobil yang berada di tangan Bagas, Retha akhirnya berkata, "Lo bisa cari di tempat laen. Gue gak ada kendaraan."

"Gue bisa nganter lo nyari di tempat laen."

Bagas dapat melihat napas Retha yang naik-turun, menahan rasa kesalnya yang merasa dipermainkan. Ia menangkap kilat amarah dari mata Retha, tapi tidak berlangsung lama. Wanita itu segera berbalik untuk meninggalkannya.

Bagas berjalan cepat untuk menghadang langkah Retha.

"Oke. Biar adil, ini gue kasih buat lo, tapi nanti gue yang pake. Gimana?"

Bagas mengangkat kondom tersebut tanpa malu-malu, meski beberapa orang yang melintas dapat melihat aksi mereka.

"Gak usah. Cowok gue udah biasa ngeluarin di dalem."

Retha mengambil jalan di samping Bagas, segera berjalan cepat agar lelaki itu tak lagi menahannya.

Sialan. Retha benci saat semuanya harus terlihat jelas di mata Bagas. Entah sejauh apa yang terlintas di kepala Bagas, diam-diam ia mempercayai Bagas tidak akan mengatakan apa pun terkait gaya berhubungannya pada Rafka.

Karena mereka berada di jalan yang sama. Hal-hal seperti ini, jelas bukan hal lumrah yang dapat diceritakan.

***

Win-Win Solution Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang