Akulah monster yang harus kau jauhi
Aku mencintaimu dari lama
Rasaku padamu tak pernah berubah
Tidak salah.
Sama sekali tidak ada salah yang salah
Aku sudah berjanji akan membahagiakanmu, 'kan?
Ingat pertanyaanmu sore itu,
"Bagaimana indahnya langit sore ini? Bisa ceritakan padaku?"Kau harus melihatnya sendiri, bahwa ... tak semua yang kukatakan adalah kebohongan.
.
.
.
"Alat pengubah suara?"
"Huum. Cara kerjanya begitu mudah. Hanya dijepitkan pada kerah baju, klik on, maka suara kita akan berubah. Aku tidak sabar untuk mencobanya, Kak." Seuntai kurva lepas dari bibir perempuan itu. Akhirnya sang kakak dapat melihat lagi senyum di wajah adiknya. Semenjak dia tahu yang mendonorkan kornea untuknya ialah sahabat sekaligus lelaki yang dia benci, Hinata tak sekali pun pernah Shion jumpai tersenyum lagi.
Shion mendesah. Napasnya terdengar keluar dengan berat. Dia tahu, sebelum ini Hinata melalui hari-hari dalam kebimbangan. Alih-alih bahagia lantaran penglihatannya kembali, Hinata justru dihantui rasa bersalah yang teramat dalam. Meski bukan kesalahannya, tapi perempuan itu tak memungkiri bila rasa bersalah dalam hatinya terus tumbuh dan mengembang. Otaknya dituntut memikirkan kehidupan pemuda itu selanjutnya. Terlebih, melalui mata ini, Hinata acap merasa di suatu waktu, di sebuah tempat, berperan sebagai Naruto yang sangat mencintainya.
"Hinata, Naruto tidak ingin lagi bertemu denganmu," Shion berucap pelan, "dia hanya berusaha mengabulkan keinginanmu saat itu. Haruskah kau merusaknya dengan muncul di hadapannya?"
Kala sang kakak bertanya, Hinata sebatas menunduk. Irisnya teduh menatap bawah pada sepasang sepatu kets yang ia kenakan. "Aku ingin memperbaiki semuanya sebelum benar-benar hancur, Kak." Hinata mengangkat wajahnya untuk menatap Shion.
"Memperbaiki? Bukankah kau sudah menghancurkannya tanpa kau sadari? Jujur aku membencinya karena dia memanfaatkan kekuranganmu. Namun, di sisi lain hanya Naruto, lelaki pertama yang kujumpai mau berkorban banyak demi gadis yang dia cinta. Kau mengusirnya dari hidupmu dan dia sudah mengabulkan itu. Untuk apa kau kembali Hinata? Kau ingin dia mengingat lukanya lagi?"
Sebelah tangan Hinata lemah bergerak menutupi mata. Rambut indigonya terurai sepinggang, tergoyang oleh angin yang bertiup semilir.
Keduanya berdiri di balkon rumah mereka dengan posisi saling menghadap. Shion sebatas mau sekali lagi menegaskan, bahwasanya, Naruto tak ingin menemui Hinata seperti kata-katanya sesaat sebelum masuk ruang operasi.
"Urungkan niatmu!" tangan Shion menggenggam pergelangan Hinata dengan kuat.
"Aku sudah bertekad, Kak. Benar dia menyakitiku. Dia memperlakukanku seperti orang bodoh. Aku menghakiminya dengan cara yang menurutku benar dan wajar dipikiran semua orang. Akan tetapi, saat aku mengingat kembali masa-masa itu, Naruto sekali pun tak pernah memperlakukanku dengan buruk. Dia selalu bertindak lembut dan membantuku dalam segala hal; termasuk menuntunku berjalan ke mana pun aku mau. Ditambah mata ini, semua yang ia lalui pelan-pelan mampu kulihat. Aku selalu memikirkannya, Kak. Ketika Naruto berusaha menjadi cahaya terbaik untukku, aku justru membalasnya dengan keji. Julukan monster yang pernah kutujukan padanya, rasanya lebih pantas kusandang sendiri." Matanya mulai memanas, tak ia sadari sejak kapan. Tiba-tiba, bulir itu luruh begitu saja, jatuh, menyusuri pipi. "aku ingin sedikit berguna baginya Kak—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Re : Andante [HIATUS]
Fanfic*Sebelum membaca ini, disarankan untuk membaca "Andante" di akun Kimono'z (dengan penname yang sama) di FFN . . Lelaki itu menjadi dua bentuk yang berbeda. Sungguh, ini bukan tentang rupa. Dia masihlah si tampan sang mantan model kenamaan. Hanya saj...