The Sound of Evening | 2 |

1.7K 186 61
                                    

Hidup adalah perjuangan. Sebuah kalimat klise yang kerap terdapat dalam sebuah buku. Quote yang entah siapa menciptakannya, dan entah sejak kapan menjadi pedoman orang-orang dalam bertahan hidup. 

Terlahir sebagai yatim piatu di daerah paling kumuh di Jepang, istilah hidup adalah perjuangan cukup kenyang Kiba makan sehari-hari. Bertahan di Kamagasaki bukan pilihan. Hidup dalam rumah petak beralas koran, makan dari hasil mencuri sudah ia cicipi semenjak usia 10 tahun. Ibunya hanyalah penjahit dan ayahnya seorang pedagang ubi rebus. Apa yang tersisa dari harta sangat sedikit itu selepas semua habis untuk upacara pemakaman? 13 tahun lalu, kecelakaan merenggut nyawa dua orang yang disayanginya.

.

.

.

Kamagasaki,

11 tahun silam,

Hujan membasahi jalanan. Di depan rumah petak, beberapa orang bermain catur dengan sesekali mengisap rokok yang terselip di antara dua jarinya. Tak aneh melihat orang-orang yang sebenarnya belum memasuki usia pensiun ini menganggur. Mereka cukup menikmati uang koin dari pemerintah setiap bulannya, mengantre pagi dan sore demi mendapat jatah makanan, pun antre lama untuk sekadar tidur di tempat penampungan gratis.

Jika berpikir seluruh kota di Jepang itu megapolitan serupa Tokyo, maka salah besar.

Kamagasaki didiami sekitar 25 ribu jiwa. Mereka kebanyakan buruh serabutan, pengangguran, gelandangan, dan tak jarang anggota kelompok kriminal.

Mayoritas mereka tinggal di penampungan gratis, rumah petak dari kardus, atau dormitori; penginapan murah seharga 8 dolar per malam.

Hidup orang-orang di sini dimulai dengan mencari lowongan kerja di pusat informasi kerja dan kesejahteraan rakyat. Penduduk umumnya berprofesi sebagai buruh kasar, pembuat aspal, angkut batu bata, kuli panggul, ada pula yang menjadi penjambret.

Penduduk Osaka sendiri menghindari Distrik Kamagasaki dan percaya tempat ini berbahaya. Beberapa tahun silam, Kamagasaki memiliki sejarah kerusuhan besar. Di tempat ini kejahatan dikenal terorganisir, dan beberapa organisasi kriminal bahkan memiliki kantor.

Bersama seorang kawannya, Kiba mengendap-endap di balik tembok sebuah gang. Matanya tajam fokus pada tas seorang wanita paruh baya yang berjalan di bawah lindungan payung. Hujan membuat orang tak fokus pada barang bawaannya, sebab otak terus berpikir bagaimana cara segera pulang, sehingga kaki spontan berjalan lebih cepat. Hujan juga membuat orang lain tak menghiraukan orang-orang di sekitarnya.

Memberi kode pada temannya untuk segera beraksi, Kiba lalu mengenakan penutup kepala hoodienya dan berjalan mendekati sang wanita dari belakang. Tugas temannya adalah pura-pura menabrak wanita itu sehingga membuat tasnya jatuh. Sedang tugas Kiba, dia membawa lari tas tersebut.

Dug

Benar saja, setelah rekannya menabrak punggung wanita itu, Kiba langsung berlari dan mengambil tasnya.

"PENCURIIII!"

Kiba dan temannya pun berlari secepat mungkin.

"Hahaha ... ayo ke tempat kakak!"

.

Anak-anak hidup di jalanan Kamagasaki banyak yang tergabung dalam kelompok kriminal. Oleh penduduk setempat, mereka dijuluki geng. Tak jarang para berandalan itu saling berkelahi untuk memperebutkan posisi dan wilayah kekuasaan. Bila di daerah lain kerap dijumpai polisi yang berpatroli mengunakan sepeda, maka di distrik ini kebalikannya. Polisi seolah tak acuh dan terkesan membiarkan. Hanya pada saat ada perkelahian saja mereka datang untuk pengamanan.

Re : Andante [HIATUS] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang