Refrain

2.8K 261 47
                                    

Langkah sepasang kaki itu bergas menuju sebuah ruang.

Terdengar di luar hujan turun disertai gemuruh.

Berlari melewati sejumlah lorong putih dan pintu-pintu berwarna cokelat muda, suara tapak kakinya tersamar oleh gemericik yang menghentak bumi; yang mana rindu akan aroma rerumputan, yang merindu pada bau petrikor ketika tetes-tetes dari langit bersentuhan dengan tanah.

Keringat bercucuran membuat punggung kecilnya tampak basah. Stelan kemeja putih lengkap dengan pita kupu-kupu masih tampak rapi—tak ubah penampilannya tatkala berdiri di atas panggung beberapa menit lalu untuk menerima penghargaan Abbandonamente 14.

Abbandonamente artinya sepenuh perasaan; di mana seorang pianis sepenuh hati mencurahkan cintanya kepada piano. Mendedikasikan segenap hidupnya untuk melodi-melodi indah yang membuatnya senantiasa kan dikenang, bahkan ketika sang pianis sudah tak sanggup lagi menyentuh pianonya, lantas cukup dikenal sebagai legenda.

Ia terus berlari. Sepasang kaki kurusnya seakaan tahu ke mana harus berpijak tanpa perlu melihat. Ia berlari menuju sebuah ruang untuk memastikan sesuatu. Ia terus berlari, meski tahu risiko yang didapat adalah apa.

Tak peduli ....

Benar saja, sepasang netra kontan menatapnya tajam dengan iris berkaca-kaca sedetik usai pintu ia buka. Seolah ada hal yang ia pendam dan ingin ia luapkan. Segalanya; tentang bocah lelaki yang terbaring di sana, perihal janji yang tak terpenuhi, tentang ibu yang memang lebih mencintai sang adik. Tidak apa. Tak apa-apa. Menma menderita leukemia sejak berumur tiga bulan.

"Puas kau?!" suaranya terdengar bergetar dan parau. Bukan hanya suara, tangannya, lengannya turut bergetar seperti menahan sesuatu yang telah membuncah. Wanita di samping perempuan paruh baya itu menahannya dengan air mata berurai. Memegangi sekuat tenaga supaya tak lepas, dan kembali menampar pipi anak di hadapannya.

"Sebegitu rakuskah kau dengan kemenangan yang biasa kau dapat?! Selamat. Tak hanya piala Abbandonamente itu, nyawa adikmu juga kau dapat."

Pil pahit yang wanita itu peroleh ialah ketika anak kedunya lahir dengan kondisi tubuh sangat lemah. Bayi keduanya terlahir prematur. Pada usia tiga bulan, putra keduanya pula didiagnosa mengidap kanker darah.

Hati ibu mana yang tak buncah? Seorang ibu pasti akan memberikan segalanya untuk buah hatinya. Bahkan bila perlu kehidupan. Namun sayang, nyawa seseorang tidak dapat ditukar. Oleh karenanya Kushina meminta putra pertamanya mengalah pada hal yang selama ini biasa ia dapat. Sekali saja, sekali dalam hidup, Menma ingin merasakan berdiri di atas panggung memperoleh penghargaan atas permainan pianonya.

Akan tetapi ....

"Apa ini caramu membalasku? Aku mengandungmu selama sembilan bulan hanya untuk mendapat penyesalan? Kau bukan anakku. Anakku selalu mendengarkan perkataanku!"

Sang anak pertama tak mengabulkan harapannya.

"Kau lihat kondisi adikmu sekarang, Naruto? Kau lihat bagaimana sakitnya dia tertusuk jarum suntik dan menjalani kemoterapi? Kau tahu rasanya sakit kepala teramat sangat dan kehilangan keseimbangan? Kau tahu rasanya jika luka mu tak kunjung menutup dan darah terus saja keluar? Kau tahu rasanya diambang kematian? Dengan membiarkan dia sekali saja menang, apakah itu sebuah kesakitan yang melebihi semua hal yang Menma alami selama ini dan menyiksamu?! Dia adikmu. Kenapa kau tak bertindak selayaknya seorang kakak?!"

"Kak, sudah!" wanita di sisinya mencoba lagi meredam emosi Kushina. "Sudah Kak ... hentikan,"

"Tidak. Aku tidak akan berhenti bicara sampai bocah ini benar-benar mengerti apa artinya berkorban!"

Re : Andante [HIATUS] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang