Oleh: Pago Hardian
BAB 1
Chapter 1/5
ARMIN
"Kamu Ingin Melupakannya."
Maka sebenarnya kamu memang sudah mulai lupa. Jika saja ayahmu tidak membeli televisi hitam putih milik Pak Sabar, tetanggamu. Tetangga yang jauh jarak rumahnya mencapai seratus meter dari rumahmu.
Kamu menyesali di rumahmu ada kotak ajaib bergambar tersebut. Sebab kotak persegi itulah yang memberitaumu, mengabarkan dan mengingatkanmu pada luka lama yang manis; Perpisahan dan kecelakaan.
Rumahmu ada di Pangkalanbun, Kalimantan tengah, bukan di kotanya. Tapi di desanya, sebuah desa yang jauh dari keramaian. Rumah-rumah penduduknya masih jarang dan berjauhan. Maka rumahmu jauh dari pasar, jauh dari sekolah, dari masjid dan dari puskesmas. Rumahmu hanya dekat dengan sebuah sekolah dasar tempat ayah dan ibumu mengajar.
Dulu kau sangat membenci rumahmu. Kemudian, karena waktu yang tak perduli pada sakit hatimu, kau mulai mencintai rumahmu. Sebab kau berusaha untuk melupakan hatimu yang tertinggal di seberang lautan yang jauh; Jawa.
Namun televisi hitam putihmu kembali mengingatkanmu pada peristiwa itu. Sebuah kejadian di mana dua orang anak bersahabat dan saling menyukai satu sama lain. Semacam cinta anak-anak monyet yang tidak pernah dipertimbangkan oleh ayah dan ibumu. Juga oleh ayah dan ibunya.
Ayahmu, Ahmad Armadi adalah orang Sidoarjo, Jawa Timur. Dia anak petani penggarap yang miskin. Kekuatan hati dan mental bajalah yang membuat dia rela menjadi loper koran dan tinggal di masjid sambil ngajar ngaji selama dia kuliah di Jogja.
Selesai kuliah, ayahmu mengajar honorer di sebuah sekolah dasar negeri Niten, Bantul. Ayahmu kemudian kost di sekitar pasar Niten. Tidak perlu menunggu lama, ayahmu jatuh hati pada seorang gadis Bantul yang sudah yatim piatu. Gadis cantik dan sederhana, sesederhana namanya; Maruti. Maka menikahlah ayahmu dengan Maruti, dan lahirlah kau dari hasil pernikahan itu.
Sayangnya kamu tidak pernah bertemu dengan ibumu yang bernama Maruti itu. Ibumu sudah pergi, ujar ayahmu setiap kali kamu menanyakan dimana ibumu.
Pergi kemana? Tanyamu. Bukankah aku bisa mencari dan menemuinya? Tanyamu lagi.
Ayahmu menggeleng. Ibumu sudah pergi ke sorga, jawab ayahmu.
Mengapa ibu pergi ke sorga? Tanyamu untuk kesekian kali. Apakah sorga itu jauh? Apakah sorga itu bisa dilihat dari ketinggian atap rumah? Kau bertanya lagi pada ayahmu.
Sorga itu dekat, kata ayahmu. Sedekat hati kita.
Kalau sorga itu dekat mengapa ibu tidak mengajak kita ikut serta? Lalu mengapa ibu pergi ke sorga? Apakah sorga itu tempat yang menyenangkan? Pertanyaanmu mulai banyak.
Sorga itu tempat sangat menyenangkan. Semua yang kita inginkan ada disana. Sorga bisa sedekat hati, namun bisa sejauh langit. Sebab sorga adalah tempat orang-orang yang baik. Semakin baik seseorang maka akan semakin dekat sorga padanya. Demikian pula sebaliknya, semakin jahat seseorang maka akan semakin jauh sorga padanya. Jawaban ayahmu juga mulai banyak.
Belakangan akhirnya kamu tau kalau ibumu telah mati. Kata Lik Ponirah, ibumu meninggal dunia saat melahirkanmu. Masih kata Lik Ponirah lagi, mati melahirkan itu adalah mati sahid. Sementara balasan untuk orang-orang mati sahid adalah sorga. Maka Lik Ponirah menegaskan bahwa ibumu telah masuk ke sorga. Mendahului kamu dan ayahmu.
Lik Ponirah adalah tetangga rumahmu saat masih tinggal di dekat pasar Niten, Bantul. Pasar yang dekat dengan pasar keramik, Kasongan.
Rumah Lik Ponirah berada di samping kanan rumahmu. Sebenarnya rumahmu adalah rumah Lik Ponirah juga. Tapi ayahmu bilang kalau rumahmu itu punyamu sendiri. Rumahmu punya nama sendiri, namanya rumah kontrakkan. Kau sering bingung kenapa rumahmu punya nama yang aneh seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senyum Anak Gerimis
General FictionSenyum anak gerimis adalah kisah yang terinspirasi dari bencana alam dan kecelakaan. Sebuah kisah panjang tentang anak-anak yang bertahan hidup di tengah bencana dan hiruk-pikuk dunia. Dimulai dari kisah terbakar dan tenggelamnya kapal motor Levina...