Senyum Anak Gerimis (BAB 2) 1/3

81 4 0
                                    


Oleh: Pago Hardian

BAB 2

Chapter 1/3

HALIMAH

 "Sekampuh, Bengkulu, Tahun 2003."



Pagi yang sendu.

Hujan tak lagi gerimis. Butir-butirnya sudah rapat dan besar-besar. Kedengarannya seperti jutaan kacang kedelai kering yang dihamburkan di atap seng. Lalu dalam sekejap air mengucur deras ke perigi.

Rumahnya panggung dan beratap seng. Maka itu dia tidak suka pada hujan lebat. Jika boleh meminta, dia ingin gerimis saja. Tapi pak Kaum, ayahnya yang berprofesi sebagai petani selalu senang bila hujan lebat datang. Ayahnya mendambakan hujan bila sedang kemarau. Sebab bagi ayahnya, juga ibunya dan hampir semua warga di dusun Sekampuh Bengkulu ini, menyandarkan hidup pada hasil pertanian. Maka adakah petani yang tidak suka hujan?

Hujan mengingatkan dia pada kekasihnya. Hujan membuat kegiatannya terbatas hanya dalam rumah. Sejak subuh tadi hujan telah menyapa. Dia dan ayahnya, juga ibu dan kakak laki-lakinya harus berpayung menuju surau Al-Barokah. Surau kampung yang hanya berjarak tiga ratus meter dari rumahnya. Surau yang lagi-lagi mengingatkan dia pada kekasihnya.

Menara surau itu masih tetap berdiri kokoh dalam hempasan hujan. Sekokoh hatinya yang memendam rindu. Ruangan surau hanya dua. Ruang dalam yang luas berbentuk persegi. Bagian ini disekat dengan kain tabir warna hijau tua. Disekat tepat ditengah-tengah ruangan. Bagian kanan untuk laki-laki dan bagian kiri untuk perempuan. Ruang yang kedua berada di dekat teras bagian depan. Rauangan ini lebih kecil dengan ukuran memanjang. Ada papan tulis hitam yang dipakukan pada dinding kayu sebelah utara. Papan tulis itu sudah cukup sebagai pertanda kalau setiap sore ruang surau ini dipakai untuk mengaji. Anak-anak di kampung itu, yang umurnya lima hingga lima belas tahun, belajar agama di surau dengan dipimpin oleh beberapa guru ngaji. Dan dia adalah kepala guru ngaji di kampung itu. Ayah dan ibunya memimpin pengajian untuk para bapak dan para ibu. Pengajian yang disesuaikan dengan umur.

"Tetaplah mengajar mengaji." Kata-kata ini terus terngiang di telinganya. "Saya tau kalau mengajar ngaji di sini tidak mendapat upah. Tapi bila dik Halimah ikhlas melakukanya dengan niat ibadah, maka Tuhan akan mengupah dengan surga."

Dia tersenyum, mengenang kembali wajah tampan pemuda yang menasehatinya sebelum pergi. Wajah milik Arifin, si anak lurah yang tunggal. Tidak beradik dan tidak berkakak. Arifin yang datang tiga tahun belakangan ini tinggal di desa Sekampuh ikut ayah dan ibunya yang dipindahtugaskan ke tempat terpencil ini. Mereka dari keluarga pegawai. Tapi dia, gadis tercantik di desa itu jatuh cinta pada anak lelakinya, itu merupakan sesuatu yang lumrah.

Dia, gadis yang bernama lengkap Halimah Hapsari itu baru kelas satu Aliyah saat terjadi pergantian lurah baru. Lurah yang datang membawa seorang anak lelaki yang tampan dan rajin ke surau. Anak lelaki yang juga baru kelas satu Aliyah dan disekolahkan satu tempat dengan Halimah.

Awalnya Halimah tidak memiliki parasaan apa-apa terhadap Arifin. Sama seperti perasaaanya terhadap Naran, anak pak lurah sebelumnya yang sekarag dipindahtugaskan ke kecamatan. Namun rasa itu ada dimulai dengan kekaguman. Jarang-jarang ada di desa Sekampuh ini, seorang pemuda tampan, anak pak lurah pula, kemudian rajin ke surau dan mengajar ngaji. Mengajar tanpa dibayar. Maka lama-lama rasa suka itu tumbuh karena beberpa hal; sering bertemu, sering bertukar pikiran, dan cocok selera, juga karena hasarat akan keindahan wajah serta fisik masing-masing. Sayangnya Halimah tidak berani mengatakan perasaannya terhadap Arifin.

Senyum Anak GerimisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang