Oleh: Pago Hardian
BAB 1
Chapter 2/2
ARMIN
"Mendung Yang Terkuak"
Kau sedang berada di atas kapal bersama ayahmu. Juga bersama para penumpang yang banyak, yang tidak kau kenal satu orangpun.
Kau tidak perduli dengan orang-orang yang sedang menggerutu.
"Kapal ini terlalu penuh!"
"Melebihi kapasitas!"
Ayahmu mendekapmu dalam pelukannya yang hangat. Tapi kau masih sedih. Kau terlalu lelah untuk menangis. Maka kau hanya tiduran dalam pangkuan ayahmu. Kau tidak merasa haus. Tidak merasa lapar dan tidak mengantuk. Kau hanya terlalu lelah, lelah hati dan lelah raga.
Perjalanan dari Surabaya ke Kalimantan dengan menggunakan kapal laut memerlukan waktu yang lama. Cukup lama untuk anak sekecil kamu. Beberapa kali kau mengajak ayahmu berjalan-jalan ke buritan kapal yang penuh sesak, kau hanya menemukan air. Benar-benar air yang seolah tidak ada batasnya.
Menjelang malam, saat kau tertidur antara terjaga dan tidak terjaga. Kau mendengar orang-orang pada ribut. Pada berteriak panik,
"Kapal terbakar!"
"Kapal terbakar!"
"Kebakaran!"
Kau dibangunkan oleh ayahmu. Semua orang jadi sibuk, berisik, hiruk-pikuk. Lalu disusul oleh bau kayu yang terbakar, bau ban yang terbakar, bau-bau aneka macam kain dan plastik yang terbakar. Kemudian dari ruang bawah terdengar ledakan,
"Ayah apa yang terjadi?" Tanyamu mulai takut.
"Armin anakku, apapun yang terjadi kita harus selamat." Jawab ayahmu. Dia memasukkan berkas-berkas kedalam plastik kedap air dan memasukan beberapa pakaian ke dalam plastik kedap air pula.
Ayahmu memakaikanmu baju yang tebal, aneh dan menggelembung berisi udara. Kau menurut saja, sebab ayahmu dan orang-orang di kapal semua memakai baju seperti itu. Bagi orang yang belum punya baju aneh itu, mereka menggunakan apa saja yang dapat berisi udara untuk mengapung.
Biyur!
Biyur!
Biyur!
Satu-persatu kau melihat orang-orang berloncatan ke laut, karena api dikapal bagian bawah telah mulai naik sehingga sepatu karetmu terasa lengket dengan lantai papan.
"Jangan panik Armin anakku, kita akan selamat. Tuhan akan melindungi kita." Ujar ayahmu dengan suara yang bergetar penuh ragu.
Kau menggendong pada ayahmu. Perlahan ayahmu ikut berdesakan menuju tepian kapal. Kau tidak dapat melihat dengan baik, cuaca begitu gelap. Hanya suara-suara yang memenuhi telingamu; suara orang menangis, suara orang minta tolong, suara bayi menjerit, suara orang tua merintih, suara-suara kematian.
"Pegang pundak ayah kuat-kuat," ujar ayahmu.
Biyur!
Kau melayang lama dan terlepas dari tubuh ayahmu. Kemudian kamu menyentuh air dengan kecipak yang deras. Kamu gelagapan, beberapa teguk air tertelan. Asin sekali rasa airnya. Tapi pelan-pelan tubuhmu mulai mengambang. Berayun-ayun di ombak air yang penuh berisi orang-orang. Kau mencoba memanggil ayahmu. Namun setiap kali kau membuka mulut, kau menelan air. Maka kau memilih diam, memilih pasrah, memilih tetap bertahan sambil menangis.

KAMU SEDANG MEMBACA
Senyum Anak Gerimis
Ficción GeneralSenyum anak gerimis adalah kisah yang terinspirasi dari bencana alam dan kecelakaan. Sebuah kisah panjang tentang anak-anak yang bertahan hidup di tengah bencana dan hiruk-pikuk dunia. Dimulai dari kisah terbakar dan tenggelamnya kapal motor Levina...