My Girl, Nana

Mancing Mania~

Gara-gara pas dianter pulang si bocah gak berhenti ngoceh, ngancam bakal cerita jaman gue SMP ke si bocah alay, gue jadi gak bisa pura-pura bangun ke siangan dan ngebatalin janji mancing sama Rani, bukannya gue takut di bully sama dua bocah itu, cuma ya gitu deh, greget aja kalau mereka berdua ngomongin gue terus. Berisik, kayak gak ada bahan obrolan lain aja.

Gue baru selesai mandi pas dengar handphone gue berdering, ternyata si bocah yang nelpon.

"Halo?"

"Dokter, udah bangun?"

"Udah, ngapain lo nelpon? Takut gue sengaja bangun kesiangan?"

Si bocah ketawa garing, "nggak gitu, dok, nanya aja."

"Ya udah, bentar lagi gue jemput di lampu merah deket kostan lo. Jangan telat, telat gue tinggal."

"Siap, pak dokter!!"

Gue mendengus mematikan ponsel, ada maunya aja, manis banget, dasar bocah gendeng!

Selesai siap-siap, gue ke dapur, kebetulan ibu lagi nginep di rumah, biasa, ngecek keadaan anak-anaknya yang ganteng, gue emang tinggal sama adik gue, terpisah dari orangtua, sebenarnya adik gue sih yang numpang ke gue, dia masih kuliah, dan rumah bapak jauh dari kampus, dari pada dia ngkost, mending tinggal di rumah gue, lebih hemat, tinggal modal bensin buat motor doang.

Karena ada ibu, gue bisa sarapan enak tanpa harus ngeluarin keringet, tinggal duduk manis di meja makan, nasi goreng spesial pakai telor, sayuran dan kerupuk langsung tersedia di meja makan.

Adik gue sih kayaknya masih tidur, semalam sama teman-temannya pada nongkrong depan rumah sampai larut. Gue heran aja, sampai sekarang belum ada tetangga yang protes sama kelakuan adik gue dan teman-temannya.

"Hari ini praktek, Niel? Pagi-pagi udah rapi aja."

"Nggak, diajakin mancing sama temen, bu."

"Mancing?" Ibu mengernyit, "awas ah, jangan dibiasain mancing gitu, ibu nggak suka."

Ibu emang benci sama yang namanya mancing, soalnya dia pernah dengar pengalaman temannya bangkrut gara-gara suaminya lebih suka mancing daripada usaha. Gue juga nggak suka mancing, ngapain, duduk diam depan empang nungguin ikan nyangkut, cuma bikin kaki kesemutan.

"Iya, ini juga cuma tanggung aja udah kepalang bilang iya."

Habis sarapan, gue pamit sama ibu, untung Rani janjiannya pagi-pagi, jadi jalan belum begitu ramai. Gue sendiri paling malas kalau diajak jalan dari siang sampai sore, selain panas, jalan juga ramai, gue paling nggak mau kalau harus berkendara dempet-dempetan sama motor. Sekarang banyak banget pengendara motor yang seenaknya, main serempet-serempet aja, gak lihat kondisi jalan, ada celah sedikit langsung serempet, nggak pada sayang nyawa kayaknya.

Si bocah benar-benar semangat buat mancing, terbukti dengan sudah berdiri di bawah tiang lampu merah saat gue sampai. Senyumnya lebar banget, sok-sok melambaikan tangan ke gue.

"Cepetan masuk."

"Siap!"

Dia gaya ngehormat, lalu masuk ke dalam mobil, duduk di kursi depan, sebelah gue. Dia benar-benar siap mancing, tampilannya berbeda dengan tampilan semalam saat jalan sama gebetan gendengnya, hari ini dia pakai celana selutut berwarna hitam, kaos santai berwarna coklat dan sepatu kets, rambutnya di kuncir kuda, ditambah topi. Percis seperti bapak-bapak yang mau pergi ke empang buat mancing.

"Mbak Rani tadi kirim chat, katanya kita langsung ketemuan di tempat aja."

"Lo punya nomor Rani?"

"Punya dong, gue kan nggak kayak dokter."

Gue noleh sekilas, "apaan?"

"Nggak gercep sama cewe cantik."