Bab 3

19.7K 2.7K 602
                                    

Sesungguhnya menikah itu bukan menuntut kesempurnaan dari pasangan, melainkan membentuk kesempurnaan bersama pasangan.

Hari masih pagi, namun Agam dan Nada sudah sampai di stasiun Malang. Berbekal angkot yang bisa dibayar dengan tarif murah meriah, keduanya turun tepat di depan stasiun tersebut.

Orang-orang yang berlalu lalang di stasiun tersebut benar-benar ramai. Bahkan barang-barang yang mereka bawa pun tidak kalah menumpuknya di depan stasiun itu.

Berbeda sekali dengan barang bawaan Agam. Laki-laki itu hanya membawa satu tas ransel yang isinya bahkan tidak berat sedikit pun.

Sangat simple dan santai. Itulah yang ada dipikiran Nada. Dalam dua minggu ini mereka menikah, yang Nada tahu Agam adalah tipikal laki-laki yang tidak mau repot. Bersamanya dibuat semua menjadi mudah. Mulai dari kasus Nada yang tidak bisa masak, Agam sama sekali tidak menuntutnya. Karena ia menikahi Nada bukan untuk mencari tukang masak dalam hidupnya.

"Mas, sarapan dulu yuk," ajak Nada.

Agam melirik sekilas jam di pergelangan tangan kanannya, masih ada waktu sekitar 1 jam sebelum kereta berangkat. Pikirnya begitu. Langsung saja dia mengangguk, mengikuti istri cantiknya itu masuk ke dalam salah satu rumah makan yang khas menyajikan menu rawon.

"Rencana Mas kapan lagi datang ke sini?" tanya Nada selepas memesan menu yang akan mereka makan.

Agam tidak langsung menjawabnya. Ia seolah berpikir memandang wajah putih istrinya itu dengan kening berkerut. "Minggu besok Mas nggak bisa kayaknya. Seninnya ada sidang. Kecuali pulang pergi pakai pesawat," jawabnya santai.

Nada seketika membisu. Itu berarti saat ulang tahunnya minggu depan Agam tidak ada di sini. Batin Nada.

Perlahan Nada tersenyum getir. Mengalihkan perhatiannya dengan mengambil satu bungkus kerupuk untuk dia makan. Kepala perempuan itu terus saja menunduk, tidak ingin Agam tahu perubahan moodnya yang tiba-tiba saja.

"Nanti kalau ada tiket pesawat murah, Mas pulang." sambung Agam kembali. "Bukannya Mas nggak mau temani Nada di sini, tapi ada banyak hal yang harus kita pikirkan sebelum diputuskan, Nada. Mas tahu, tanpa kamu bicara pasti ada rasa kecewa di hatimu. Tapi Mas pikir tidak perlu ada rasa kecewa selama jalan lain masih terbuka lebar. Iya nggak?" jelas Agam.

"Iya sih," gumam Nada pelan.

Seketika senyum di bibir Agam melengkung indah. Tangannya bergerak mengusap punggung Nada dengan sayang. "Kok sedih gitu? Mas masih mengusahakan yang terbaik kok untuk kita. Jadi jangan cemberut gitu dong,"

Nada membalasnya dengan tatapan sendu. Pada mulutnya masih saja sibuk mengunyah-kunyah kerupuk yang tadi dia buka dari plastiknya.

"Udah dong sayang. Jangan ngambek begitu," ucap Agam sembari membersihkan sudut bibir Nada dengan jemarinya. "Kalau kamu masih diam begini, Mas nggak bisa pulang. Mana rela Mas ninggalin istri Mas dalam keadaan cemberut begini,"

"Nggak kok, Nada nggak cemberut. Cuma lagi mikir aja, jadi ini yang dulu Ibu rasain kalau Ayah mau berangkat kerja. Atau Ayah mau tugas luar kota. Kok rasanya krenyes-krenyes bikin nyesek ya. Padahal ninggalinnya dalam status yang jelas. Apalagi pasangan-pasangan yang hanya memiliki status pacaran ya? Bisa kejang-kejang kali Nada kalau ngerasainnya," ungkap Nada dengan suara rendah.

"Untung ya Mas, Nada nggak pernah pacaran dulu. Setidaknya sakitnya Nada ditinggal saat ini berbuah pahala. Benar nggak?" tanya Nada membalas tatapannya.

"Masalah dapat pahala atau tidaknya, Mas tidak yakin. Karena yang berhak menentukan itu hanya Dia. Bukan kita, Nada. Tetapi kita sebagai manusia harus senantiasa melakukan yang terbaik. Terbaik dalam menjalankan perintahnya. Masa kamu bisa nonton film Korea sampai pagi, tapi mengartikan fi'il laazim aja nggak paham," sindir Agam di akhir.

Mr. Baihaqi 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang