Bab 5

20.2K 2.6K 825
                                    

Kadang kita sering kali lupa. Bahwa untuk menilai diri kita sendiri melalui pandangan orang lain.

Satu hari sebelumnya..

Pukul 17.00 sore tepat pada hari jum'at, Agam baru saja keluar dari ruang sidang. Laki-laki itu nampak memijat bahunya sembari tersenyum ke beberapa orang yang dia kenal.

Memang jadwal sidangnya hari ini bukan berhubungan dengan orang-orang penting. Namun ternyata lelah yang Agam rasakan tidak ada bedanya. Beberapa kali ia memberikan putusan untuk hukuman agar hakim menyetujuinya, tapi semuanya tidak ada yang berhasil terlaksana.

Seolah memang Agam menyepelekan kasus ini, sampai-sampai ternyata dia yang kelabakan sendiri.

Mungkin hal seperti ini sudah sering kali Agam jalani, akan tetapi baru sekarang ia mampu berpikir jernih. Apalagi setelah mendengar selentingan desas desus dalam ruang sidang tadi, membuat Agam mengerti bahwa dirinya salah dalam memilih langkah untuk hidup ini.

Bagaimana bisa dia berpikir demikian?

Contoh mudahnya saja, bila kasus yang dia tangani menyeret orang besar pastinya Agam akan menggebu-gebu untuk menyelesaikannya dan memberikan yang terbaik. Hingga semua mata tertuju kepadanya. Memberikan penilaian yang jauh diatas rata-rata sampai Agam merasa melambung tinggi.

Namun seharusnya Agam tidak seperti itu. Apapun kasusnya, sebagai jaksa penuntut umum semua tugas yang diberikan seharusnya dijalankan dengan sempurna. Bukan malah mencari yang wah agar dipandang istimewa. Karena sering kali pujian malah menyesatkan untuk menjadi lebih baik.

Astagfirullah al'adzim. Lagi dan lagi pemikiran bodohnya tidak terkendali. Bagaimana bisa Agam mengaku sedang berhijrah di jalan Allah sedangkan semua yang dilakukannya berlaku kebalikan. Ke mana urat malunya? Dibangga-banggakan orang banyak namun kenyataannya Agam tidak sesuai pemikiran mereka semua.

Ya Tuhan, mengingat-ingat kebodohan yang baru saja terjadi dalam hidupnya, Agam meringis pedih. Dia tahu hijrah itu tidaklah mudah. Ia juga paham, walau sesulit apapun hijrah bila niatnya telah kuat maka kesusahan itu tidak akan terasa. Tetapi Agam pun mengerti benar, kadang manusia sering lupa berkata telah menjadi baik padahal sejatinya dalam hidup ini mana ada malaikat yang mengaku bahwa dirinya adalah malaikat.

Selama masih terucap kata baik, maka selama itu pula manusia hanya menipu dirinya sendiri. Seperti yang Agam lakukan tadi.

Dan saat ini dia benar-benar menyesal. Dia menyesal menjadi bodoh atas pemikirannya sendiri. Karena dari apa yang Agam ingat, ada salah satu hadits yang mengajarkan bekerja itu sama seperti berjihad di jalan Allah. Namun kembali lagi niatnya bekerja itu untuk siapa? Apa untuk istrinya, anak-anaknya, orang tuanya, atau untuk kebanggaan diri sendiri.

Karena pada dasarnya, niat awal adalah penentu apa yang dilakukan dalam hidup menjadi berkah atau malah menambah dosa.

"Gam," panggil seseorang dari belakang punggungnya.

Sekilas Agam memperhatikan sosok laki-laki yang tersenyum lebar kepadanya. Dari apa yang Agam lihat, laki-laki itu nampak santai, memakai tshirt polos dengan celana pendek. Tas ransel kecil di punggungnya menambah kesan seperti anak kecil hingga tanpa sadar Agam ikut tersenyum melihatnya.

"Big bro," seru Shaka sembari menepuk bahu Agam. "Lama banget lo sidang. Gue sampai ngantuk-ngantuk nungguinnya."

"Nungguin saya sidang? Kenapa?"

"Aduh, bro. Lo ngomongnya santai aja. Nggak perlu kaku sama gue. Sama Wahid lo bisa santai, kenapa sama gue kayak perut cewek lagi mau kebanjiran. Tegang sampai keras gitu," tawanya geli.

Mr. Baihaqi 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang