Bab 4

19.3K 2.7K 554
                                    

Aku ingin seperti senja. Kadang dia berwarna merah bahagia. Namun sering kali berwarna hitam gelap seakan berduka. Namun senja tidak pernah kecewa akan perubahannya. Karena langit akan selalu setia kepadanya.

Setumpuk kertas berisi foto copy mata kuliah nampak berserakan di dalam kamar kontrakan kecil itu. Pakaian bekas pakai, bahkan handuk yang masih basah tergeletak di lantai keramik putih tanpa perlu repot-repot dibereskan.

Suara berisik terdengar menggema. Semuanya full menggunakan bahasa yang menjadi favorit si penghuni kontrakan tersebut.

BOOMBAYAH
YAH YAH YAH BOOMBAYAH
YAH YAH YAH BOOMBAYAH
YAH YAH YAH YAH
BOOM BOOM BA BOOM BOOM BA (Oppa!)
YAH YAH YAH YAH YAH YAH
YAH YAH YAH YAH
YAH YAH YAH YAH YAH YAH
YAH YAH YAH YAH (Oppa!)
YAH YAH YAH YAH YAH YAH
YAH YAH YAH YAH
YAH YAH YAH YAH YAH YAH YAH
BOOM BOOM BA BOOMBAYAH

Dari arah ruangan dapur kecil, sosok Nada nampak menari-nari mengikuti irama lagu tersebut. Bibirnya komat kamit seakan hafal dengan lirik lagunya. Padahal jika ditanya kepadanya arti dari lirik lagu favoritnya itu, pasti ia hanya memasang senyum lebar seolah-olah tidak ada kesalahan apa-apa.

"Oppaa.. Yayaya...yayayaa.. " nyanyinya begitu keras dengan sebelah tangan memegang piring berisi telur dadar serta nasi putih untuk lauknya makan pada malam sederhananya kali ini.

Anggap saja ini adalah kelakuan Nada untuk menghibur dirinya sendiri. Setelah termakan omong kosong Agam yang berkata akan menghubunginya, Nada menjadi gila karena laki-laki itu.

Pagi tadi Agam mengirimkannya pesan akan menelepon Nada tepat pukul 19.00 waktu Jakarta. Namun sampai pukul 21.30 waktu Malang, belum ada tanda-tanda Agam menghubunginya.

Memangnya seberapa jauh jarak waktu Malang dan Jakarta?

Entahlah Nada tidak mengerti. Mengapa laki-laki suka sekali mengobral janji. Pantas saja banyak sekali perempuan termakan korban janji palsu laki-laki. Bahkan Nada pun sekarang merasakan hal yang sama. Meski laki-laki yang menipunya berstatus suaminya sendiri.

"Udah nikah aja masih ingkar janji. Apalagi belum nikah," gerutunya sembari menyuapkan makanannya.

Kedua matanya fokus terhadap laptop yang masih memutar girls band kesukaan Nada dari negeri ginseng Korea. Keempat perempuan cantik yang sibuk menari-nari itu memang terlihat ceria untuk menghibur kegalauan Nada. Namun tetap saja, pikirannya kosong. Tubuhnya boleh di Malang. Tapi hatinya ada di Jakarta.

"Jahat banget lo, Gam. Lo tahu kan kalau gue ulang tahun sekarang," gumamnya sesak menahan tangis. Dia tahu sejak kecil memang kedua orang tuanya tidak pernah mengajarkan makna untuk merayakan ulang tahun. Namun ya Tuhan ini perkara berbeda. Kini ada Agam sebagai suaminya. Kini ada sosok laki-laki yang bisa Nada ajak berbahagia dalam proses bertambah usianya. Tapi...

"Mau bahagia aja susah ya, Gam. Harus usaha dulu. Padahal kalau kita lihat orang lain, gampang banget bahagianya. Tapi giliran kita rasanya kayak ngejar-ngejar kereta. Kita memang satu alur. Satu rel. Tapi nggak pernah satu waktu."

Perlahan tangis air matanya jatuh juga. Dengan punggung tangannya Nada mengusap, mengigit bibirnya kuat-kuat agar tidak menangis sedikit pun.

"Saengil chukkae hamnida, Nada." Gumamnya pelan.

Sambil menarik napas dalam, Nada kembali menyuap makanannya. Dari tadi dia tahu ponselnya terus bergetar, pesan yang berisi ucapan selamat ulang tahun untuknya terus berdatangan namun tidak ada satu pun ucapan selamat dari Agam.

Apa tidak sepenting itu dirinya dimata Agam?

****

"PAAAAAGIIIIIIIIII.... ADEK ABANG TERCINTA..."

Mr. Baihaqi 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang