Aku menyambar tas hitamku dan berlari keluar kamar. Aku melirik jam di dinding, kemudian mengeluh pelan.
"Hei, hei, tenanglah! Kau bisa mati tersedak kalau paksa makan semuanya," kata ibu ketika aku datang ke meja makan dan langsung memasukkan selembar roti tawar ke mulutku. Aku hanya terkekeh. Tidak ada waktu untuk tenang. Sepuluh menit lagi gerbang sekolah ditutup. Aku harus segera berangkat.
"Amu burungkut dulu...," kataku pamit dengan mulut yang masih mengunyah.
Aku berpamitan pada ibu, mengusap kepala adik kecilku, Teresa, dan kemudian menyambar gelang dan sebuah benda bewarna putih yang bentuknya mirip piringan. Benda ini yang selalu membawaku ke sekolah mulai sejak aku SD.
Pada dasarnya, kotaku telah mendapatkan kemajuan teknologi. Sayangnya kemajuan teknologi itu tertahan dengan wabah mematikan ini.
Seperti benda yang sedang kupegang sekarang. Benda ini cukup tebal tapi ringan untuk dibawa. Plate Board namanya. Di tengah piringan itu terdapat sebuah tempat untuk alas kaki yang akan menyesuaikan dengan sendirinya dengan kaki pengguna sehingga membuat siapa pun yang menaikinya tak akan jatuh. Alas kaki ini akan melebar dengan sendirinya ketika sang pengguna mematikan plate board , bersamaan saat piringan ini perlahan menyentuh tanah. Di bagian bawahnya terdapat sesuatu yang membuat piringan ini dapat berjalan melayang, entah apa namanya aku juga tidak tahu. Di bagian belakangnya juga ada tambahan seperti pendorong pada jet yang memiliki fungsi sama, yaitu memberikan gaya dorong.
Piringan ini bisa berbelok ke kanan dan kiri, bergerak cepat atau lambat, diatur melalui gelang yang memiliki warna yang sama. Sebenarnya Plate Board ini akan dimodifikasi dapat meluncur di udara seperti papan luncur melawan ombak. Tapi seperti kataku tadi. Kemajuan teknologi di kotaku tidak berkembang lagi.
Aku menyetel plate board-ku dalam kecepatan sedang. Hanya ada beberapa orang yang lewat, aku hanya tersenyum dengan mulut mengembung oleh makanan ketika mereka menyapaku. Aku sudah lupa kapan tepatnya kendaraan lewat di jalan ini. Sejak kejadian mengerikan itu, kotaku benar-benar berubah.
Ada 4 distrik di kotaku, utara, selatan, barat dan timur. Aku tinggal di distrik selatan. Antara distrik yang satu dengan distrik lainnya dipisahkan oleh hutan lebat. Di distrikku ada sebuah tanah gersang, tempat yang biasanya dibuat ujian dan latihan kelas petarung di pagi hari dan memancing pecus untuk dilawan di malam hari oleh penjaga keamanan. Karena itu tanah gersang ini menjadi tempat yang menyeramkan. Kalau jika suatu pagi kelas petarung mengadakan ujian atau latihan di tanah gersang itu, sudah tidak asing menemukan bercak-bercak darah tertinggal di sana. Bau busuk menyengat dengan beberapa potong tubuh yang bergeletakan. Aku selalu tidak tahan berada di sana sebelum tanah itu dibersihkan, aku tidak kuat melihatnya. Di tengah-tengah 4 distrik, ada pusat kota yang terdiri dari 5 gedung. Gedung pemerintahan, sekolah, rumah sakit, laboratorium, dan gedung Departemen Keamanan. Jangan harap temukan pusat perbelanjaan di sini. Jangankan supermarket, minimarket pun tak ada. Kami selalu mendapat makanan dari pemerintah, termasuk makanan ringan sekalipun.
Aku menyetel plate board-ku dengan kecepatan tinggi saat aku telah selesai menelan rotiku. Aku tidak boleh terlambat. Aku tidak ingin push up 100 kali hanya karena aku bangun kesiangan. Waktu kurang satu menit lagi ketika aku sampai beberapa langkah menuju gerbang sekolah. Aku mengatur napas. Ini menyebalkan. Aku bahkan sudah memulai pemanasan sebelum bel masuk berbunyi.
Satu meter sebelum sampai di depan gerbang, aku segera turun dari plate board dan menentengnya. Tidak boleh menggunakan alat ini di dalam sekolah. Pria tegap yang berdiri di depan gerbang melirik jam. Kemudian tanpa banyak gerak lagi langsung menarik gerbang untuk ditutup. Aku mendelik.
"PAK! TUNGGU!"
Aku bersyukur sensor gerbang sekolahku bermasalah sejak lima hari yang lalu dan harus ditutup manual. Setidaknya teriakanku itu memperlama waktu ditutupnya gerbang karena pria itu menoleh sejenak, sebelum akhirnya kembali menarik gerbang.
HAP!
Aku meloncat dengan tubuh miring melewati celah gerbang yang kecil ketika detik berikutnya gerbang tertutup sempurna. Pria yang bertugas menjaga pintu gerbang itu geleng-geleng kepala. Aku hanya tertawa kecil. Dengan lebih santai, aku melangkah kaki menuju kelas.
"Carissa!"
Aku menoleh. Sara Scott, sahabatku, melambaikan tangan. Aku membalas lambaian tangannya.
"Kau terlihat sudah kelelahan sekali, Cariss," kata Sara melihatku yang sedang mengusap peluh di dahi. Aku mengangguk setuju.
"Aku kesiangan."
"Aku tidak heran," Sara menimpali. Aku menatapnya kesal.
"Apa pelajaranmu hari ini?" tanyaku mengganti topik.
"Hari ini kami akan memasak sup. Pastikan jangan kau lupa jatahmu," kata Sara. Aku mengangguk. "Bagaimana denganmu?" tanya Sara.
"Aku?" tanyaku. Aku menghela napas. "Tidak ada yang berkembang. Aku masih sama dengan yang kemarin."
Sara mendelik. "Kau belum ujian juga?"
Aku menggeleng. "Aku bahkan sengaja mengulur-ulur waktunya. Kau tahu, kan, betapa paranoidnya aku dengan tempat itu," kataku sedih.
Sara merangkulku, memberiku ketenangan. Mungkin aku sedikit membuat kalian bingung, tapi aku menegaskan bahwa sekolahku sudah berubah sistem sejak kehidupan kota kami 'diserang'. Tidak ada pelajaran menghitung di sini. Atau mungkin menghafal. Karena kami tidak belajar pelajaran seperti itu lagi. Kami tidak duduk di kursi menghadap papan tulis di sebuah ruangan yang biasanya disebut kelas. Kami memang masih menggunakan kata kelas, tapi berbeda makna dengan kelas yang biasa kalian dengar.
Di sekolahku ada empat kelas atau empat bagian. Kelas petarung, kelas pemasak, kelas kesehatan, dan kelas kebersihan. Kelas petarung, mereka diajari cara bertarung, bertahan diri, mengenal bagaimana itu sosok pecus. Kelas pemasak, mereka yang selalu menyediakan masakan bagi seluruh orang di kota. Kalau anak mereka tidak sekolah, maka ada robot-robot yang akan mengantarkan jatah makanan untuk tiap orang ke rumah. Kenapa dilakukan seperti ini? Kata walikota—tentunya yang baru—untuk mengurangi kecelakaan di dapur, agar tidak makin merepotkan. Kelas kesehatan, mereka biasanya bekerja sama dengan pihak rumah sakit. Sedangkan kelas kebersihan mereka yang melakukan kebersihan kota. Tapi jangan salah, kelas kebersihan bukan kelas yang mudah dan bisa remehkan. Setiap hari mereka yang harus mengurus jenazah-jenazah utuh maupun tak utuh yang tergeletak di setiap sudut kota. Bekas perlawanan dengan pecus. Butuh orang-orang yang teguh hatinya untuk masuk di kelas itu.
Aku dan Sara berbeda kelas. Aku kelas petarung dan Sara kelas pemasak. Percayalah, aku tidak bercanda, bahwa aku salah memilih kelas. Seharusnya aku memilih kelas pemasak. Tapi ketika itu, aku daftar berbeda waktu dengan Sara, dan ketika aku sudah sampai di depan meja pendaftaran, aku baru menyadari kesalahanku. Hanya demi aku tidak terlihat memalukan dan seakan menjadi seorang pecundang, aku tetap berada di kelas ini.
Ya, sejak hari itu, aku menyadari bahwa aku seorang petarung.
----
Yap! Mulmed di atas adalah Carissa versiku. Terus baca kelanjutannya yah 😉😉
-Ai💖-
KAMU SEDANG MEMBACA
Stand Up
Science FictionHighest Rank #1 in Science Fiction [10-10-2017 - dst ] Kotaku hancur. Dihancurkan sekelompok orang tak bertanggung jawab. Mereka yang katanya cerdas dan punya kekuasaan penting dalam negara telah memporak-porandakan kotaku. Sebuah kegagalan pembuata...