Matanya yang merah mendelik marah ketika aku menyenterinya. Mulutnya mengeluarkan air liur, menetes ke jalanan. Tubunya yang hanya tertutupi kain compang-camping terlihat mengerikan. Jantungku berdetak kencang. Tubuhku seakan membeku. Oke! Ini bukan waktunya untuk panik. Pecus itu melolong. Spontan aku menjatuhkan senterku dan menyiapkan senapanku. Aku bisa mendengar suara kaki yang berlari. Aku ikut berlari mundur. Aku tidak bisa melihat dengan jelas di dalam kegelapan buta seperti ini. Tidak ada bulan, tidak ada penerangan. Tapi senter yang terjatuh di tengah jalan memberiku sedikit penerangan dan tanda bahwa pecus itu berlari melewati senterku.
DUAR!
Aku melepaskan tembakan ketika aku dapat melihat pecus itu kurang lebih 100 meter mendekat kepadaku. Aku ingin menangis. Ya Tuhan! Wajahnya begitu menyeramkan. Satu-satunya alasan kenapa aku bisa menarik pelatuknya karena aku begitu takut. Pelurunya mengenai bahu kanannya. Pecus itu berteriak. Bodoh! Aku bodoh! Ketika pecus itu melolong, maka dia memanggil kelompoknya. Aku harus segera pergi sebelum kelompoknya datang. Tapi bagaimana?! Langkahku semakin mundur, menjauh dari rumah. Aku tidak bisa berlari pulang. Satu-satunya cara supaya aku bisa pulang adalah membunuh pecus ini.
Aku mengarahkan ujung laras ke arah dadanya. Jarakku dan pecus itu semakin dekat. Pecus itu berlari ke arahku lebih cepat, lebih cepat dari aku yang berlari mundur. Tanganku terasa kaku. Aku menatap wajah pecus yang mengganas. Aku tidak percaya dulu dia adalah seorang manusia, namun sekarang harus berakhir mengenaskan seperti ini. Bagaimana dengan keluarganya?
Pecus itu melolong lagi. Mata merahnya mendelik menatapku. Tepat ketika mataku saling bertatapan dengan matanya, aku melepas tembakan tiga kali. Langkahnya mulai melambat. Wajah bengisnya perlahan pudar, diganti dengan wajah kesakitan. Sekali lagi aku katakan, aku ingin menangis. Bukan hanya karena takut, tapi karena membayangkan bagaimana dia dulu. Sebelum virus itu mengenainya. Dia bisa jadi manusia yang sangat baik. Tapi pada akhirnya nasibnya harus mengenaskan seperti ini.
Pecus itu melolong sekali lagi sebelum akhirnya jatuh. Aku segera sadar bahwa tidak lama kemudian pasti ada pecus lain yang akan datang.
Aku segera mengambil sebotol minyak wangi di kantung dan menuangkan seperempat isinya ke atas tubuh pecus yang sudah terkapar kaku di aspal. Semoga pecus lain bisa mencium baunya dari jauh, kudengar mereka punya penciuman yang tajam. Kemudian aku langsung berlari, pulang ke rumah.
***
"Aku pulang."
"Carissa!"
Ibu langsung berseru memelukku. Aku membalas pelukan ibu.
"Kau enggak apa-apa kan, Nak? Wajahmu kelihatan capek sekali! Kau bertemu dengan mereka?" tanya ibu khawatir.
Aku hanya tersenyum. "Aku enggak apa, Bu."
Aku menyerahkan boneka beruang Teresa pada ibu. Tanpa banyak bicara aku meletakkan kembali senapan laras panjang ke dalam lemari. Kemudian aku langsung masuk ke kamar. Aku bersandar di pintu. Jantungku masih berdetak kencang. Aku mengangkat kedua tanganku. Kedua tanganku bergetar. Kakiku lemas. Aku terduduk di lantai. Aku begitu takut. Jangan pikir aku berani melakukan hal itu tadi. Menarik pelatuk, membunuh pecus, melihat wajahnya, sekarang aku tidak punya kekuatan lagi. Aku sangat takut. Andai ada Ayah di sini. Beliau yang selalu memberikanku ketenangan saat aku begitu takut. Ketika aku takut sekolah. Ketika aku takut bertemu orang lain. Tapi kini aku sendirian.
Aku kembali menangis.
***
Aku mematut diriku di depan cermin. Rambut hitam panjangku kukuncir kuda. Kaos putih dengan celana hitam sebagai seragam telah rapi di tubuhku. Aku merasa ada yang berbeda denganku hari ini. Tapi apa, ya? Aku menatap kedua tanganku. Aku masih membayangkan kejadian tadi malam. Aku bergidik ngeri. Sekali dalam seumur hidupku itu sudah cukup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stand Up
Science FictionHighest Rank #1 in Science Fiction [10-10-2017 - dst ] Kotaku hancur. Dihancurkan sekelompok orang tak bertanggung jawab. Mereka yang katanya cerdas dan punya kekuasaan penting dalam negara telah memporak-porandakan kotaku. Sebuah kegagalan pembuata...