Just One Day #3

501 20 0
                                    

       Saat sampai di rumah pun, masih terbayang wajah Nadine yang begitu sakit hati padanya. Entah apa yang harus dia katakan agar Nadine mengerti alasan, keadaan dan perasaannya tadi siang kalau dia sebenarnya cemburu. Rafael yang sudah di pusingkan dengan panggilan orang tua, omelan yang mengancam dari Pak Anton dan sekarang soal Nadine. Awalnya, dia berencana untuk mengatakan perasaannya saat estival nanti malam. Tapi sepertinya rencana itu harus dia pikir ulang. Di rumah yang tidak ada orang itu, Rafael hanya bisa mondar-mandir menunggu malam tiba. Karena tidak sabar menunggu malam, dia mencoba menelpon Nadine. Tidak diangkat. Mencoba sms, chat sampai nge-Ping!!!. Tetap tidak ada respon. Akhirnya Rafael menyerah. Dia pun menunggu malam sampai akhirnya dia ketiduran di kasurnya.

       ~~~

       Sejak tadi handphone Rafael terus berdering. Dia terlalu mengantuk -malas lebih tepatnya- untuk mengangkat telpon-telpon itu. Jam setengah 5 sore rumahnya masih sepi. Suasana sepi itu menambah rasa malas dan mengantuknya. Dia pun kembali berbaring. Setelah beberapa detik berhenti berdering, handphone kembali berdering lagi.

       Apa-apaan sih? Segitu pentingnya sampai ganggu orang lagi tidur!

       Seketika dia teringat Nadine.

       Apa Nadine yang nelpon gue?

       Dengan cepat Rafael beranjak dari kasurnya dan mengambil handphone nya yang terlanjur berhenti berdering. Dilihatnya daftar panggilan-panggilan tadi.

       Kevin, Lily, Kevin, Janesha, Lily, Kevin, Chiko, Mama, Papa, Mama, Mama.

       Itulah nama kontak yang dari tadi menelponnya. Tidak ada nama Nadine disana. Seketika alis Rafael berkerut kebingungan.

       Ada apa sih?

       Dan untuk yang keduabelas kalinya handphone Rafael berdering. Terlihat nama kontak Mama. Dia langsung mengangkat telpon itu.

       "Ma, kena...."

       "Kamu darimana aja?!! Ditelpon gak diangkat-angkat!" marah Mama Rafael. Suaranya terdengar seperti sedang Menangis. "Cepet kerumah sakit sekarang jug.."

       "Siapa yang sakit? Mama nangis?"

       "Dengerin mama dulu! Nadine kecelakaan. Dia kritis. Cepet kesini!" kata mama Rafael dan langsung menutup telponnya sebelum Rafael menjawab.

       Hah?

       Pikiran Rafael langsung kacau. Dengan kebingungan dia mencari-cari kunci mobilnya. Setelah mendapatkannya dia langsung pergi kerumah sakit. Dalam perjalanan pikiran Rafael semakin kacau.

       Kenapa dia bisa kecelakaan? Apa gara-gara gue? Tuhan tolang jangan ambil dia secepat ini!

       Ketika sampai di lobby rumah sakit, telihat Kevin dan Chiko menunggu Rafael.

       "Kemana aja lu, idiot!" bentak Kevin kasar.

       "Gak usah banya bacot deh lu! Dimana Nadine?"

       "Dia masih di IGD." jawab Chiko lalu dia langsung berlari. Sementara Rafael dan Kevin mengikutinya menuju IGD. Terlihat wajah-wajah cemas, sedih dan takut bercampur menjadi satu saat mereka bertiga sampai di depan ruang IGD. Mama dan papa Rafael, Mama dan papa Nadine, Lily dan Janesha langsung melihat kearah Rafael yang baru datang. Rafael sudah tidak perduli dengan yang lainya. Dia langsung mendekati kaca ruang IGD dan melihat apa yang sedang terjadi di dalamnya. Terlihat seorang dokter dan 2 suster mengelilingi Nadine.

       Itu kan....

       Dokter itu memegang alat kejut jantung. Dia melihat garis gelombang kecil yang tergambar di EKG dan mulai mengejutkan jantung Nadine.

       Tuhan.. Tolong selamatkan Nadine. Kumohon.. Jangan bawa dia.

       Berawal dari gelombang kecil, berakhir dengan garis lurus yang tergambar di EKG. Tapi dokter tetap mengejutkan jantung Nadine. Beberapa menit kemudian, tetap tidak ada perubahan dapa garis di EKG. Akhirnya dokter itu berhenti.

       Itu..... Berati.........

       Dada Rafael sesak seketika. Sekujur tubuhnya lemas dan berusaha untuk menahan air matanya. Rafael memutuskan pergi karena tidak ingin mendengar keterangan apapun dari dokter yang menangani Nadine nanti.

       "Mau kemana, raf?" tanya mama Rafael heran. Tapi Rafael tidak menjawab dan tetap berjalan. Saat Rafael berada didalam lift, dokter itu keluar dan menyampaikan kabar duka itu kepada yang lainnya yang masih menunggu.

       Rafael yang masih berada di dalam lift sudah tidak bisa menahan air matanya lagi. Dia segera menuju mobilnya.

       Kevin mendatangi Rafael di mobilnya.

       "Gue tau permasalahannya. Tadi siang pas pulang sekolah, gue liat dia nangis sambil lari gak tau kemana. Kerena dia paling suka nongkrong di halaman belakang sekolah akhirnya gue kesana. Dan ternyata emang dia ada disana lagi nangis. Gue gak ngerti sama pikiran lu! Kalau emang suka kenapa gak ngomong aja daripada akhirnya lu bikin sakit hati dia?"

       "Emang ini semua salah gue. Vin. Seandainya gue tau bakal bigini jadinya, gue gak bakal bentak dia kayak gitu. Udah lah. Lu gak usah memperburuk suasana!"

       Kenapa gue marah ke dia tadi siang! Seandainya gue gak egois, gak bakal begini jadinya! Gue emang bego! BEGO! Tuhan... Kumohon... Berikan aku satu kesempatan lagi untuk minta maaf, untuk bilang kalau Rafael suka Nadine, Rafael cinta dia. Kembalikan dia.. Kembalikan dia walaupun hanya satu hari saja!

Just One DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang