Bagian 18

865 25 0
                                    

Luna berjalan sendirian melewati jalan di trotoar yang sepi. Kepalanya masih berdenyut menyakitkan, tapi itu tidak mengurungkan niatnya untuk terus berjaan sejauh mungkin meninggalkan rumah Devin.

Setelah berjalan hampir 3 jam, Luna sampai di gedung tempat dia dan orang yang selama ini dia kenal sebagai Dan bertemu di kencan pertama mereka.

Luna melangkah melewati police line , dan mendekat ke tempat dimana Gio terjatuh dari puncak gedung itu. Masih ada bekas darah yang sudah mengering di tempat itu.

Luna merasa dadanya tiba-tiba sesak saat membayangkan Gio yang tergeletak di depannya.

"Maaf..." Luna membiarkan tangisnya pecah. "Gue minta minta maaf..." isaknya berulang-ulang. Dia terduduk diatas aspal dan terus menangis.

Luna masih ingat dengan sangat jelas seperti apa senyuman Gio mereka bertemu untuk pertama kalinya. Dia juga masih bisa merasakan hangatnya dekapan cowok itu yang bisa mengalahkan dinginnya hujan di tengah malam, dan perasaan nyaman saat dia berada di dekatnya. Semua kenangan itu menambah luka di hati Luna.

Tapi di saat Luna tenggelam dalam kesediannya, tiba-tiba muncul seseorang dari belakang dan memukul Luna dengan benda keras yang terasa dingin, hingga membuat Luna kehilangan kesadarannya.

......

Devin terus memacu mobilnya sendiri di tengah jalan yang sepi untuk mencari Luna. Dia tidak tau harus kemana, tapi ada satu tempat yang kemungkinan akan Luna datangi. Sebelumnya Devin belum pernah menyetir mobil sendiri, apalagi dengan kecepatan di atas 60 km/ jam.

"Jangan sekarang...tolong, jangan sekarang..."Devin bergumam sendiri saat merasakan kepalanya mulai terasa terbakar. Sakit. "Luna... Lo dimana sih?" Devin terus memperhatikan kanan-kiri jalan yang di lewatinya dengan cemas, karena pandangannya mulai kabur.

Darah mulai keluar dari hidungnya, begitu derasnya sampai akhirnya Devin menyerah.

Mobil Devin berhenti di tengah jalan yang kosong. Devin menyandarkan tubuhnya dengan putus asa. Merintih sendirian karena rasa sakit yang menyerangnya. Sekarang bukan hanya kepalanya saja yang terasa seperti akan meledak, jantungnya yang mulai melemah juga terasa sakit. Rasanya Devin ingin mengakhiri semua sekarang. Tapi bagaimana dengan Luna? Devin ingin lebih lama bersama Luna, dan menjaganya seperti yang dia janjikan tadi.

Tuhan, tolong... Devin memohon di tengah kesakitannya. Terdengar suara getaran yang halus dari handphone yang Devin taruh di kursi sebelahnya. Dengan sisa tenaganya, Devin mengambil handphone-nya dan berharap Luna-lah yang menelfon. Tapi ternyata Stev.

"Gimana, Dev?Luna udah ketemu?" tanya Stev cemas. Saat ini berada di rumah lama Gio yang kosong. Tidak ada jawaban, yang Stev dengar hanya suara napas berat yang lambat dan rintih kesakitan. "Dev?"Stev memanggil dengan takut. "Devin! Lo kenapa? Jawab dong!"

Suara napas yang berat itu menghilang. Tidak ada lagi yang Stev dengar.

Luna membuka matanya yang terasa berat. Dia terkejut saat mendapati dirinya sudah ada di atas gedung dengan keadaan terikat di sebuah kursi. Luna menatap sekelilingnya dengan panik, dan menemukan Dan yang tengah duduk di depan api unggun dengan tatapan kosong.

Luna terkejut? Ya. Luna begitu terkejut sampai-sampai dia hampir terjungkal bersama kursi yang didudukinya, tapi di belakangnya ada Billy yang menahan kursinya agar tidak jatuh.

"Lo ketakutan, ya?" Billy tersenyum mengejek. Dia duduk diatas tumpukan kaleng cat yang ada di sebelah kursi Luna, dan mulai mengisi pistolnya dengan peluru.

Luna tidak menatap Billy, tapi dia justru terpaku pada Dan yang baru saja menoleh melihatnya.

"Ini gak mungkin..."Luna bergumam pada dirinya sendiri.

BAD LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang