part 5

8 0 0
                                    

Warna Pov.

Hadeh.. Langit dimana, ya? Cake banana nya sudah nyaris dingin lagi. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling mencari Langit.

Dan sosok itu kutemukan dengan dua orang manusia. Satu diantaranya seprrti sudah tidak asing lagi. Aku seperti pernah bertemu dengannya.

"Kau kemana saja? Pesananku sudah habis. Dan cake mu sudah dingin."omelku kesal setelah mereka mendatangiku dan duduk.

"Oh, begitu ya? Maaf."cengirnya.

"Ayo pesan lagi. Biar Eyang traktir kali ini."Usul seorang wanita tua.

"Hah? Benarkah?"mendengar itu tiba2 mataku berbinar.

Entah apa yang menyebabkannya, aku menjadi maniak food. Untung berat badanku tidak bisa menambah.

"Aish, kau memalukan."bisik Langit pelan tapi terdengar.

"Memang,"potong pria yang tidak asing lagi.

Aha, dia kan pria yang berada di kafe itu. Kenapa bisa lupa, ya? Mungkin karena diotakku hanya ada nama makanan manusia kali, ya? Hahahahahaha..

"Kau?!"tunjuk Ku pada Pria itu.

"Kenapa, sih? Ngga Iyem, ngga elo, basanya formal banget. Ada kesan norak tau gak!"ledek pria itu pedas.

"Hush, kok iyem? Namanya udah bagus Langit kok. Lagipula kan cewe yang basanya formal itu artinya sopan."nasihat wanita disampingku.

Ohh, perlu balasan nya pria ini. Dasar manusia kejam. Aku menatap tajam langit memprotes atas kehadiran mamusia ini.

Langit hanya nyengir sambil menyipitkan mata.

Aku menggerakkan telunjukku diatas meja dengan pelan. Kedua manusia didepanku ini sedang sibuk memesan makanan. Langit yang tahu akan rencanaku, menggelengkan kepalanya keras dan melotot.

"Ngapa lo? Kerasukan setan kafe?"ledek Pria disamping Langit.

Amarahku memuncak seketika.

Hyaaat..

Cahaya yang setengah meredup itu hinggap ke tengkuk pria menyebalkan itu ketika semuanya lengah hanyut kedalam pembicaraan.

Author Pov.

"Hihihi, kadang juga Leo nangis kalo pisah sama Eyang."cerita Oma Leo kepada Langit dan Warna yang berupaya menahan tawa.

"Apaan, sih? Gak pernah."ketus Leo sambil melahap potongan kecil cake yang lima menit lalu diantarkan.

"Hahaha..!"Tawa mereka bertiga pecah membayangkan Leo menangis.

Oh.. Jadi namanya Leo, cengeng juga, batin Warna terkikik sambil menunggu reaksi cahaya yang belum terbentuk ditengkuk Leo.

"Whuaaaa!"

Langit Pov.

"Whuaaaa!"

Aku dan Eyang terkejut sambil berdiri. Kecuali Warna yang tampak biasa-biasa saja sambil berpura-pura tak tahu. Aku tahu, Dia yang menyebabkan Ini semua. Aku menatap Warna tajam sedangkan si empunya hanya menunjukkan kedua jarinya, peace.

Semua tamu dikafe menatap kami semua. Tepatnya pada Leo yang tengah berteriak ketakutan sambil mengibas-ibaskan tangan ketengkuknya.

"Omaa!"teriaknya lagi sambil menghentakkan kakinya dan tetap mengibaskan tangannya.

Warna tertawa kecil dan menelungkupkan wajahnya ke meja kafe sembari mengunyah pelan cake banana dimulutnya.

Aku mendekat dan meraih ulat bulu berwarna hijau itu yang mengeliat kesana kemari. Aku menggenggam ulat bulu dan menghilang kannya segera.

Eyang menangkup wajah cucunya itu dan menyuruhnya duduk. Seketika tawa kecil terdengar riuh menyerukan Leo.

"Tuh, ulat nya sudah tidak ada. Kau jangan cengeng begitu, dong! Malu, tahu!"Kataku kesal sambil duduk kembali.

Leo hanya bergidik kecil dan memanggil seorang pelayan.

"Saya mau menemui pemilik kafe ini secepatnya!"Kata Leo penuh penekanan.

"I-iya, mas!"jawab pelayan itu takut lalu berlalu.

"Kau jangan menyalahkan manusia itu. Dia tidak ada hubungannya,"dengus Langit lagi.

"Manusia? Tidak ada hubungannya? Maksudmu?"Tanya Eyang kepadaku dengan kernyitan dahi.

"Amh, ma-maksudku.."Aku berusaha menjelaskan.

"Oma, itu hal biasa. Dia kan alien dan bukan manusia."rungut Leo memotong.

"Ku kira setelah membuat malu, kau tak akan berkata-kata lagi."gumam Warna sambil menatap arah lain.

Rahang Leo mengeras tanda akan marah.

"Sstt, Warna. Kau diam saja!"bisikku.

Warna memutar bola matanya malas.

"Aku hanya bercanda, Eyang."Jawabku pada Eyang yang tak lepas menatapku.

Ia tersenyum tipis.

"Hap, ayho kidha puwlhaank!"Ajak Warna sambil melahap potongan akhir dan berdiri.

"Eyang, kami pulang dahulu ya. Terima kasih atas traktiran nya."kata ku sambil mencium punggung tangan Eyang.

Warna berlalu tanpa berpamitan apapun. Dia keluar kafe dan menungguku disana.

"Iya, Eyang harap kita bisa bertemu kembali."ucap Eyang ramah.

"Gue ga dipamitin juga sekalian?"Tanya Leo dengan suara Bass nya.

"Memangnya kau siapaku?"ketusku.

"Memangnya kau kira Omaku siapamu?"ketus nya tak kalah sinis.

"Eyangku!"jawabku.

"Dia omaku!"

"Eyangku!"

"Omaku!"

"Eyangku!"

"Omaku!"

"Stop! Kalian ini nggak malu diliatin sama lainnya?"potong Eyang akhirnya.

Dan benar saja, para tamu kafe menatap kami sesekali berbisik.

"Maaf, Eyang." "Maaf, oma."

Aku menatap Leo dan begitu juga sebaliknya. Kenapa dia mengikuti omonganku, sih?

"Kau?!" "Elo!?"

Lagi-lagi kami saling menatap tajam.

"Eyang, aku pulang dahulu saja."pamitku cepat sambil menatap Leo sinis.

"Iya. Hati-hati, ya?"sahut Eyang ramah.

Aku mengangguk dan berlalu menemui Warna yang tengah memanyunkan bibir karena terlalu lama menunggu.

Pov End.

###

Haii, tau gak? Ini chap yang paling memmmmmmmbosankaaan. Semoga para readers ngga bosen, ya? Author harap, masih ada yang mau baca (U)-(U).

Kalo boleh juga mau minta vote sama Comment nya? Comment apapun, vote nya juga ya. Sebenernya Author ngga mood update, tapi berhubung takut ada yang nunggu story nya, author paksain aja deh. Tau kan gimana rasanya kalo mood hancur terus terpaksa ngeluarin ide. Rasanya keseeeeeeelll banget. Makin kesel n bikin marah kalo gak ada yang baca!

Kalo udah gitu, pengen bejek2 muka orang:p
See you ajja yah:*:*:*

Hargain, broh. Sakitnya tuh disini </3 kalo semisal gk ada yg nge pot (vote) n coment.

Air Mata Bidadari.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang