Chapter 13

134 13 0
                                    

           Wanita itu bercerita dalam tulisannya. Kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf dia tuliskan begitu panjang hingga kertas yang dia gunakan hampir penuh. Apa yang dia tuliskan menceritakan kisahnya saat harus hidup di tempat yang dia sebut neraka itu. Isi tulisannya seperti ini :

       Orang itu memang sering meninggalkanku, tapi suatu saat dia pulang membawa beberapa anak yang seumuran denganku waktu itu. Aku tidak begitu ingat wajah maupun nama mereka, tapi sepertinya orang itu berkata bahwa mereka hilang saat memasuki hutan. Ada tiga anak, dua anak perempuan dan satu anak laki-laki. Dia memersilakan mereka masuk. Awalnya dia memerlakukan mereka dengan wajar seperti apa yang biasa dia lakukan padaku.

       Aku juga berbincang-bincang dan bermain bersama mereka. Hingga suatu saat aku pergi ke luar untuk mencari buah. Ketika aku pulang, keadaannya begitu hening bagaikan tidak ada orang di dalamnya. Aku mencari mereka di seluruh sudut ruang pondok. Tapi aku tidak menjumpai siapapun. Sampai akhirnya secara tidak sengaja aku menemukan sebuah pintu bawah tanah yang tertutup oleh peti-peti. Karena penasaran, aku membukanya. Setelah dibuka, begitu terkejutnya aku melihat keadaan mereka yang mengenaskan di sana.

     Tempat yang begitu gelap dengan hanya cahaya pintu yang kubuka, aku langsung menjumpai tiga tubuh anak itu. Mereka diikat dengan tubuh mereka yang sudah penuh memar. Mereka semua terkapar di sana tidak sadarkan diri. Aku berusaha berteriak pada mereka. Sampai akhirnya orang itu kembali dan mendapatiku yang ternyata telah mengetahui semua perbuatannya. Tapi dia seperti tidak menghiraukanku. Dia seperti tidak keberatan dengan diriku yang telah mengetahuinya.

     Dia segera turun ke tempat itu dan kembali naik dengan membawa satu per satu anak-anak itu. Setelah semuanya telah dia naikkan, dia meletakkan ketiga tubuh anak itu di atas kursi. Dia berkata, "Bagaimana menurutmu, bagus bukan?" aku hanya dapat terdiam mendengar pekataan orang yang tidak waras itu. Aku takut, tubuhku tidak sanggup bergerak. Dia mengeluarkan sebuah pisau dan menyayat leher salah satu anak yang tidak sadarkan diri itu.

       Merah, semua yang aku lihat adalah warna merah yang memancar ke luar dari tubuh anak perempuan itu. Napasku tidak karuan saat melihat kejadian mengerikan itu dengan kedua mata kepalaku sendiri. Tapi dia tidak berhenti, dia kembali menyayat bagian tubuh lain dari anak itu. Dia menyayat tangan, kaki, perut anak perempuan itu. Aku berusaha mengentikannya, aku memeluk tubuhnya. Tapi dia tidak kunjung berhenti. Dia terus saja menyayat tubuh anak itu dengan brutal.

       Aku hanya dapat menutup mata sambil memeluk orang itu. Berharap dia akan segera berhenti. Begitu kusadari orang yang kupeluk telah berhenti bergerak, kuberanikan diri untuk membuka mata. Dan apa yang aku lihat sungguh mengerikan. Wujud anak itu sudah tidak dapat dikenali lagi. Bahkan sudah tidak terlihat seperti manusia lagi. Dia memutilasinya, menguliti, mengeluarkan isi perutnya, dan mencongkel kedua matanya.

       Aku melepaskan tanganku dari orang itu, kakiku lemas, tubuhku langsung terjatuh di lantai penuh darah itu. Napasku sesak, aku mengeluarkan air mata. Dadaku sakit bukan hanya karena napasku yang sesak, tapi juga karena aku menahan semua teriakku. Saat itu aku sangat ingin berteriak sekencang-kencangnya. Tapi aku tidak bisa, suaraku tidak mau ke luar. Aku takut dengan orang itu. Orang yang membunuh dengan brutalnya dengan tubuh yang penuh dilumuri darah korbannya tanpa pernah sedikit pun kuketahui ekspersi wajahnya saat dia melakukan tindakan bengis itu.

       Bagaimana ekspesinya, apakah wajahnya marah atau justru tersenyum bahagia ketika melakukannya. Aku tidak tahu. Aku takut, apa yang harus kulakukan? Karena aku tahu, aku yang masih anak-anak pada waktu tentu tidak akan sanggup melawan orang ini.

Umbrella Full of RosesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang