cry
.
.
.Kevin POV
Pria itu tak henti menatap nyalang layar ponsel di genggamannya. Baru selesai ia berkutat dengan berkas-berkas rapat dari ayahnya, pikirannya kembali dibuyarkan dengan pesan singkat bang Dirga yang tiba-tiba meminta bantuan untuk mencari Kala. Sekali lagi, gadis itu rupanya ingin membuat perkara dengan semua orang."Jaket! Jaket gue mana sih, kampret!"
Tangannya mengobrak-abrik gantungan baju di belakang pintu kamar. Saat beralih ke meja kerja, tatapannya bertumbuk dengan selembar foto usang yang ditempel di sudut whiteboard. Fotonya bersama Kala, saat kelulusan SMP. Lengkap mengenakan setelan jas dan kebaya dengan warna maroon yang serasi.
Hanya menampakkan dua muda-mudi yang sedang bahagia. Raut sumringah Kevin dan wajah lugu Kala. Dalam foto itu, mereka seolah-olah tidak akan pernah tahu akan datangnya hal buruk yang bisa saja muncul suatu waktu.
Rahang Kevin seketika mengeras. Wajahnya nampak kemerahan seperti menahan amarah. Semua ini karena ia tahu, bagaimanapun keadaannya, ia tak akan pernah bisa mengacuhkan gadis itu.
Kevin mengkhawatirkannya. Gadisnya.
Setelah beberapa menit berdiri di tengah ruangan dengan wajah frustrasi, pria itu menyerah. Ia mengaku kalah dengan egonya sendiri. Sampai kapan pun, Kala selalu tetap jadi yang utama.
Kevin menyambar kunci motor di atas kulkas. Di tengah ruang keluarga, Rufus, ayahnya menatap Kevin heran. Rufus menutup koran yang sedang dibacanya dan memanggil nama Kevin dengan lantang.
"Mau kemana kamu malam-malam begini?"
Kevin tidak memedulikan Rufus. Langkahnya mantap menuju motor besarnya yang terparkir di depan pagar.
"Kevin!?"
Kala POV
Gue mencoba melepaskan diri tapi gagal. Tenaga Kevin jauh lebih besar dibanding gue yang lemah tak berdaya ini.Apalagi posisi gue rada puyeng efek minum alkohol.
Alhasil, gue memilih diam dan nurutin kemana Kevin pergi. Walau sebenernya agak kesel dan risih juga. Main narik-narik aja ga permisi dulu. Itu temen-temen gue gimana coba?
Bisa-bisa gue dicecer seharian gara-gara mendadak ilang. Dikira gue tukang ghosting kali ntar.
Tepat di tengah pelataran parkir, di samping motornya, kevin ngehempas tangan gue kasar. Walaupun agak kaget atas perlakuannya yang gak terduga, tapi gue berusaha cuek dan sok-sokan buang muka.
Napas kevin memburu. Dia udah nahan emosi dari tadi mungkin.
"Pantes gue cariin ga ketemu. Di tempat ini lo ternyata?"
Gue ngelirik dia sekilas dan kembali memanyunkan bibir.
"Ngapain lo kesini?" tanya Kevin.
asli. kalo udah gini, diam membatu seperti patung adalah opsi terbaik daripada nyeloteh tapi ujung-ujungnya malah muncul malapetaka.
Kevin gelengin kepalanya beberapa kali.
"Susah emang ngomong sama lo. gue sering bilang kan? jangan pernah sekali-kali lo injekin kaki di tempat beginian lagi. Itu ga baik buat elo, kal." jelas Kevin panjang lebar yang gue tanggapi dengan decihan malas.
Berjuta kali Kevin nasehatin gue macem ini.
Dan gue ngerasa itu sama sekali ga berpengaruh apa-apa buat gue. Jadi Vin, stop lo bicara omong kosong ini lagi ke gue. Udah muak dengernya.