22. Aku dan Keraguan

368 17 0
                                    

Banyak rasa yang melintas saat aku memilih untuk move on dari masa laluku. Perlahan mulai ku tinggalkan cerita masa lalu yang manis untuk diingat namun pahit untuk dikenang. Bukan aku ingin melupakan sejarah masa lalu dalam hidupku, hanya saja aku beranggapan bahwa masa lalu tetap akan berada di belakang kita, dan takkan maju dan berdiri dikehidupan kita di masa depan. masa lalu takkan sama dengn masa depan. Jikapun masa lalu terulang, takkan sama semua kejadian didalamnya.

Hampir semua rasa kehidupan pernah kucicipi. Mulai manisnya kenangan bersama keluarga, hingga pahitnya di kecewakan oleh Allah.

"takkan kecewa orang yang berharap hanya kepada Allah.........." Samar-samar ku dengar kutipan kalimat ceramah Televisi yang Kak Fauzan setel.

Aku memang kurang meminati acara TV seperti ceramah dan sebangsanya, karena menurutku itu terkesan sangatlah monoton. Meski kini aku dalam proses hijrah namun, tak semua kajian Islam kuikuti. Terkadang aku hanya ikut-ikutan Mbak Naya yang sering sekali mengikuti kajian-kajian Islam di Masjid maupun di tempat-tempat lain.

"takkan kecewa orang yang berharap hanya kepada Allah" kuulangi kalimat penceramah di TV tadi. Perlahan kuulangi terus menerus kalimat tersebut. Aku paham paham dengan maksud kalimat tadi, namun mengapa tak sesuai dengan apa yang dalam realitaku? Hatiku membatin buruk kepada Allah.

Belum sepenuhnya ikhlas aku menerima takdir pada masa laluku. Terkadang aku merasa yakin dengan proses hijrahku, dengan bantuan Mbak Naya, Mbak Elfira, Mama, dan Kak Fauzan. Dan mengapa aku masih saja belum sadar jika aku dikelilingi oleh orang-orang yang mungkin bisa merubahku.

Dan bodohnya lagi, aku masih saja merasa sia-sia saja proses hijrahku ini. Entah apa yang membuatku berpikiran seperti itu. hanya saja terkadang Allah malah membuatnya terlihat sulit untuk dijalani. Terkadang Allah memberikan cobaan yang menghadang proses hijrahku. Dan sempat terbesit untukku berhenti ditengah jalan, lalu kembali ke diri ku yang dulu lagi. Namun lagi-lagi aku ingat kata-kata Mbak Elfira yang selalu saja menyemangatiku dengan kalimat-kalimat yang terlontar dari lisannya dengan nada bicara yang sangat ku suka.

Banyak keraguan yang muncul dalam proses hijrahku ini. Banyak cobaan yang Allah berikan dalam hidupku, seolah-olah Allah tak pernah puas untuk memberikanku cobaan.

"Mbak, kenapa sih Allah itu mempersulit hijrahku?" tanyaku saat aku dan Mbak Elfira sedang duduk-duduk diberanda rumah.

"karena Allah sayang kamu, Sya." Jawabnya singkat.

"hah? Bukankah kalo sayang itu malah mempermudah?"

"Memang! Sekarang Mbak nanya, apa yang membuat kamu berpikir kalo Allah itu menyulitkan hijrahmu?" sesuatu yang khas dari Mbak Elfira, selalu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.

"hm.... Kaya misalnya gini, aku udah pengen bangun subuh, eh malah ketiduran sampe siang, kadang-kadang hampir telat ke sekolah."

"oo.. gitu, kalo itu mah bukan salah Allah, Sya."

"lah kan, katanya manusia itu punya alarm alami, yang membuat manusia itu bangun sendiri." Kataku.

"kalo itu sesuai niat, Sya."

Aku terdiam cukup lama, sambil memikirkan kalimat terakhir dari Mbak Elfira. Semua sesuai niat. Kalimat tersebut mebuat otakku terkuras. Apakah niatku masih salah? Apakah niatku kurang mantab? Apakah niatku masih standar? Apakah niatku belum sebaik orang-orang? Semua pertanyaan itu terngiang di otakku.

"Sya..!" nada panggilan Mbak Elfira kepadaku yang menjadi bagian favoritku.

"eh, iya Mbak, kenapa?"

"gini Sya, Mbak pernah baca di...hm... dimana ya? lupa ih." Kulihat raut wajahnya yang sekonyol ini membuatku semakin ingin menjadi seperti dirinya.

"ah, Mbak Elfira mah, belum tua juga, hahaha...." Tawa kami pun pecah diantara guratan senja yang menjingga.

"pokoknya intinya tuh gini, seandainya kamu ketemu dua pengamen di tempat yang sama tapi dengan waktu yang berbeda. nah, di pengamen pertama itu suara kurang bagus, penampilan kurang menarik, main gitarnya ngawur. Pasti Aisyah berpikiran buat cepet-cepet ngasih duit biar pengamennya cepet pergi kan?"

Perlahan ku cermati kata demi kata yang terucap.

"nah, terus di pengamen kedua itu suaranya enaaaaakkkk banget, penampilannya sopan, terus main gitarnya pas. Nah, pasti Aisyah ngasih duitnya agak lama kan? Soalnya Aisyah pengen denger suaranya lebih lama, soalnya enak, kadangan ngasih duit lebih dari pengamen yang pertama kan?"

Aku masih belum paham sepenuhnya dengan cerita Mbak ELfira.

"jadi...?" tanyaku polos.

"singkatnya gini, kan pengamen yang kedua tuh nyanyi lebih lama, berarti dia mengeluarkan lebih banyak tenaga kan? Dan hasilnya? Dia dapet duit lebih dari pengamen yang pertama. Jadi gini, kalo kamu berdoa dengan sungguh-sungguh dan dengan banyak usaha yang lebih lama maka Allah akan mengabulkan doa Aisyah tadi malah dengan tambahan yang lain."

Tapi, tadi Mbak Elfira menyebutkan masalah penampilan. Apakah penampilan mempengaruhi doa? Batinku.

Belum sempat ku mengutarakan pertanyaanku, dan lagi, Mbak Elfira selalu mampu membaca mimic wajahku yang masih menyimpan pertanyaan.

"pasti kamu masih bingung masalah hubungannya penampilan si pengamen sama penampilan kita. Kita pake anggapan kalo pengamen pertama itu penampilannya acak-acakan, dan yang kedua itu sopan, nah, kamu suka liat yang mana? Pasti yang pengamen kedua kan? Soalnya sopan. Nah, sama kaya Allah, Allah itu suka banget liat hamba-Nya berpakaian sopan, yang menutup aurat, dan sesuai syariat."

"intinya satu, Sya. Allah itu pasti akan mengabulkan semua doa hamba-Nya, namun Allah itu mengabulkan doa sesuai waktu yang tepat, bukan yang cepat."

*****


Izinkan Aku Untuk BerubahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang