19. Aku dan Niatku

405 19 0
                                    

Dunia memang tak mengharuskanku untuk berubah, namun akhirat lah yang sedikit memaksaku untuk berubah. Ketika dunia terlalu hina untuk membuatmu jatuh, tapi bangkitlah dengan alasan akhiratmu, karena akhiratmulah yang akan kau tinggali selama-lamanya.

Allah memang tak memaksa hamba-Nya untuk berubah, namun tidakkah ada rasa terima kasih dari seorang hamba atas nikmat-nikmat yang tak bisa terhitung itu? Tidakkah kita malu dengan semua pemberian Allah, sementara Allah hanya meminta hamba-Nya untuk tetap beribadah, padahal di dalam ibadah itu semua doa yang terpanjat adalah permintaan.

Betapa bodohnya diriku dulu, selalu menganggap nikmat Allah itu hanya sebatas kebahagiaan yang memang aku inginkan. Lalu udara yang ku hirup setiap hari itu bukan termasuk nikmat Allah?

"Mbak, niat awal Mbak Elfira pakai jilbab itu apa?" pertanyaan yang sempat menyumbat otakku akhir-akhir ini.

"soalnya dulu Mbak pernah denger, 'satu langkah dirimu keluar tanpa sehelai jilbab, maka satu langkah pula ayahmu menuju neraka'. Dari situlah niat awal mbak pake jilbab itu buat nyelamatin abi dari api neraka, tapi karena itu kewajiban wanita muslim, jadi yaudah lillahi ta'la deh, hehehe,"

Buat nyelamatin ayah? Buat apa? Ayah saja tidak memikirkanku di dunia, lalu buat apa aku berjilbab demi menyelamatkan ayah?

"tapi, Mbak, ayah nya Aisyah kan—"

"kalo Aisyah emang gak mau berjilbab karena ayahnya Aisyah, tapi Aisyah berjilbab karena alasan Allah aja. Lagian gak Cuma satu alasan aja kok kita berubah, kalo misalnya alasan yang pertama kita ngerasa gak srek, kita bisa ganti alasan."

Seolah Mbak Elfira mampu membaca pikiranku, tersirat wajah menyesalnya ketika ia menyebutkan alasannya berjilbab karena abi nya Mbak Elfira.

"tapi gimana kalo kita berubah tapi tanpa alasan?"

"sebenarnya pasti kamu menyimpan sebuah alasan di dalamnya, tapi terkadang kamunya aja yang gak bisa menyimpulkan alasan tersebut."

Makin salut aku dengan Mbak Elfira, yang selalu mampu memposisikan dirinya sebagai kakak saat bersamaku, itu hal lain yang kusukai dari dirinya.

"tapi Mbak, aku pengen berubah, tapi gak tau mesti mulai darimana?"

"awalnya kamu harus rubah semua niatmu." Katanya singkat, namun mendalam bagiku.

Setiap kata-kata yang pernah disampaikan Mbak Elfira dulu masih terekam jelas di otakku, namun tak mampu ku cerna hingga tak sedikitpun masuk kedalam hatiku. Seolah itu hanyalah sebuah teori yang tak membutuhkan sebuah praktek.

Kubuka lagi celah di otakku untuk menerima ulang apa yang diucapkan oleh Mbak Elfira. Namun hanya celah kecil yang terbuka dari bagian otakku.

'Mudahkanlah ya Allah' Lirihku dalam hati.

"tenang, Mbak bakal bantuin kok, Aisyah gausah bingung. Kan sekarang Aisyah jadi adik cewek satu-satunya mbak, jadi kalo misalnya ada apa-apa tinggal bilang aja, Sya."

Entahlah aku merasakan hal yang sangat-sangat berbeda, ia benar-benar telah menganggapku adik kandungnya, namun aku masih saja menganggapnya hanya sekedar kakak ipar, tidak lebih. Kenapa susah sekali menganggapnya kakak perempuan kandung? Padahal begitu baik ia kepadaku, begitu banyak nasihat-nasihat kecil yang berdampak besar bagi hidupku. Mungkin aku masih dibawah pengaruh masa silamku.

Ku susuri pandanganku ke setiap jengkal di kamarku, namun selalu saja aku berhenti dan memusatkan pandanganku ke sebuah figura yang membuatku berhenti melangkah dan berubah.

'tidak, tidak untuk kali ini, Sya, kamu pasti bisa berubah, yakin.' Batinku dengan sangat mantab.

Ku alihkan pandanganku, dan ku acuhkan figura foto yang memiliki medan magnet yang sangat menarik perhatianku.

Dan akhirnya pandanganku tertuju pada lemariku, entahlah apa yang membuatnya begitu menarik sehingga aku ingin melangkah kesana. Ku buka lemariku, dank u lihat isinya, dan, tak ada satupun baju panjang di dalamnya.

'lalu bagaimana cara aku berubah kalo gini caranya? Mau berjilbab, tapi baju panjang aja gak punya, apalagi jilbabnya. kalo beli pun mana cukup satu, terus pasti harganya mahal-mahal.' kataku dalam hati.

Seketika niatku untuk berubah pun ciut tiba-tiba.

"tenang, Aisyah bisa minjem bajunya mbak dulu kok, kita seukuran kan?" entah sejak kapan Mbak Elfira berdiri di ambang pintu kamarku. Ia selalu mampu masuk di waktu yang tepat.

"eh.. anu.. iya Mbak, tapi kayanya gedean Aisyah dikit deh," kataku dengan tergagap.

"seenggaknya seukuran lah, hehehe. Ayo ikut mbak dulu." Katanya sambil menarik tanganku lembut.

Kuikuti langkahnya yang menuju kamar Kak Fauzan, tak ku lihat Kak Fauzan di dalamnya, jadi aku bisa masuk sesukaku.

"sini, Sya. Masuk aja,"

Namun pandanganku sedikit terfokus pada kamar Kak Akrom yang letaknya tepat disebelah kamar Kak Fauzan. Biasanya ia akan melarangku untuk bermain di daerah lelaki, karena Kak Fauzan dan Kak Akrom dulu sangat melarangku untuk bermain di depan pintu mereka, entahlah apa alasannya.

Ku alihkan lagi fokusku untuk masuk ke kamar Kak Fauzan, dan ikut berdiri di sebelah Mbak Elfira.

"Aisyah bisa milih baju sama jilbab mbak."

"eh, buat apa mbak, nanti aja aku beli sendiri," kataku tak enak.

"buat pertama gapapa lah Aisyah boleh pake baju mbak dulu, nanti kita cicil beli baju satu-satu, oke??" katanya dengan sangat antusias. Aku tak tau apa yang benar-benar menjadi alasannya untuk membantuku berubah, terlebih lagi memberikan beberapa baju panjang dan kerudungnya untukku.

"tapi mbak—"

"ini nih, kayanya cocok sama kamu, warna cute banget, pink-pink manjah gitu hehehe, kalo yang ini enaknya kerudung warna pink fanta deh cocok." Diambilnya dress dan kerudung yang ia maksud.

"eh tapi mbak, panas gak sih pake dress panjang-panjang gini?" tanyaku sambil menerima baju yang ia berikan.

"awalnya sih panas, Sya, tapi lama-lama enak kok, enak banget malah, hehehe."

"tapi emang pantes buat Aisyah?"

"kamu inget pernah pake dress pas ikut Mbak Naya pengajian itu?"

"hm.." jawabanku yang sama sekali tak menjawab pertanyaannya.

"oh gini ajadeh, kalo misalnya Aisyah belum siap, yaudah mbak kasih kaos-kaos sama kemeja panjang deh, eh ya rok nya sekalian aja."

Mungkin itu lebih baik untuk seorang pemula sepertiku. Bukannya aku tak yakin untuk langsung memakai dress, tapi aku masih tak yakin jika aku mampu istiqomah untuk selanjutnya.

"mungkin, Aisyah bisa pake kaos-kaos agak longgar sama celana panjang yang Aisyah punya."

Tak terlihat rasa sakit di dalam diri Mbak Elfira, yang terlihat di mataku kini hanya semangatnya yang membara untuk membantuku berubah.

"mungkin besok mbak anterin kamu buat beli-beli baju yang lebih keren daripada ini."

Tak habis pikir otakku, mengapa begitu semangatnya ia membantuku untuk berubah. Aku sangat menghargai usahanya untuk membantuku, namun masih tersirat sedikit rasa tak yakinku, bukan masalah niat, hanya tentang keistiqomahanku nantinya.

Satu hal lagi yang dapat ku ambil, bahwa seseorang yang pernah kau anggap remeh atau bahkan kau benci dulunya, boleh jadi kini ia malah membantumu untukmu bangkit dan berdiri, menata ulang semua puzzle yang sempat berpencar jauh.

Izinkan Aku Untuk BerubahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang