5. Aku dan Hidupku

916 26 0
                                    

Tak seorangpun yang mengerti atas masalah yang sedang kuhadapi. Bahkan diriku sendiri tak mampu menjelaskan kepada hatiku. Logikaku seolah berhenti bekerja untuk hal ini. Hatiku seolah mati untuk memulai rasa yang baru. Bahkan ragaku seakan tak terima atas apa yang ku terima.

Mana yang katanya Allah itu adil? Mana yang katanya Allah itu Maha Penyayang? Sudah ku kubur dalam-dalam kata-kata itu.

Aku lelah dengan semua ini, aku lelah dengan air mata yang tak pernah berhenti mengalir di pipiku. Aku lelah yang selalu menangisi takdir, aku merindukan kehidupanku yang dulu.

Aku layaknya awak kapal yang kehilangan nahkodanya, aku kehilangan arah. Aku ingin merubah hidupku, tapi harus mulai dari mana. Bahkan aku tak tahuapa yang harus ku ubah. Ini seakan terjadi baik-baik saja. Kesalahannya hanya terletak pada takdirku, pada scenario yang Allah rancang untukku.

Aku merasa cemburu dengan semua temanku yang selalu diantar oleh ayahnya. Dan satu hal paling menyakitkan bagiku, saat hari kelulusan, dimana semua anggota keluarga mengantarkan dan mengucapkan selamat kepada anaknya, namun ayahku? Jangankan datang untuk merayakan, mengirim pesan singkat pun tidak. Itu sudah ku alami dua kali, dan hampir tiga kali. Apakah itu yang disebut sebuah keadilan?

"Aisyah?" kata seseorang yang agak ku kenal suaranya.

"eh, Mbak Naya."

"Ngapain Sya? Kok sendirian aja?"

Iya, dia Mbak Naya seseorang yang pernah ku temui, yang mengaku temannya Kak Fauzan. Entahlah, seolah dunia ini menjadi sangatlah sempit. Di kota seluas ini masih saja aku bertemu dengan orang yang masih saling berhubungan.

"enggak, mbak, Cuma lagi bingung aja mau ngapain."

Dan kini nada bicaraku sedikit berbeda dengan saat pertama kami bertemu.

"gak tau ya, kok mbak seneng banget bisa ketemu kamu disini, hehehe."

Basi. Batinku.

Entahlah, semua terasa begitu monoton dalam hidupku, bahkan saat aku bertemu dengan orang baru yang memungkinkan aku untuk berubah. Tapi? Apa yang akan membuatku berubah, bukankah semua telah berubah tanpa ada ababa dariku?

Aku masih tak mengerti mengapa takdir selalu mempertemukanku dengan orang malah mengancurkan mood-ku. Salah satunya dengan Mbak Naya yang sekarang sedang duduk sambil menikmati minumannya di hadapanku.

"eh ya Sya, kamu pernah kepikiran gak kalo semua ini indah banget, Subhanallah."

Aku paham apa yang ia maksud, namun otakku tak mampu berpikir jernih dan malah jatuhnya ke suudzon.

"hm... iya Mbak." Kata ku singkat.

"begitu besar nikmat yang telah Allah berikan kepada kita dengan menghadirkan banyak hal yang indah."

Namun sudah tak indah lagi bagiku, mbak. Mungkin bagi Mbak Naya ini semua indah, ku akui kalau ini semua indah, namun setelah apa yang telah Tuhan ambil dariku, membuat denifinisi kata indah itu hilang dalam kamusku.

"eh ya, Kak Fauzan gimana kabarnya?" tanyanya, seolah tak ingin ada jeda untuk kami berdua berdiam terlalu lama.

"baik mbak."

"oh, Alhamdulillah deh."

"hm... Mbak Naya, kayaknya aku mau duluan deh, udah ditunggu temen soalnya. Mari mbak."

"oh oke, Sya. Wa'alaikumussalam warahmatullah."

Jleb.

Apakah aku terlihat begitu buruk dimatanya, sehingga ia menyindirku sangat halus. Ah, buat apa aku memikirkan itu, hanya buang-buang waktuku saja.

Izinkan Aku Untuk BerubahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang