9. Aku dan Sikapku

843 25 0
                                    

Semua yang ku lalui ini bukan semuanya keinginanku. Kalo saja aku bisa memilih pastilah aku akan memilih bagian yang menurutku bahagia. Kenapa Allah selalu menginginkan ucapan keluh dariku? Tidakkah harusnya lebih indah kalimat yang penuh syukur? Namun kenapa jika kalimat syukur itu lebih indah, tapi Allah tak memberiku sesuatu agar aku bersyukur.

Aku pernah mendengar sepotong kalimat yang berisikan tentang, 'Allah itu selalu tau apa yang di butuhkan oleh semua makhluk-Nya, dan Allah akan mengabulkan doa-doamu satu persatu di waktu yang tepat bagi-Nya.'

Namun sekarang aku tak menemukan pembuktian dari kalimat tersebut. Aku masih saja bergelut dengan air mata, berteman dengan rasa sedih, hingga berbaur dengan duka. Kapan Allah akan memenuhi rasa bahagiaku? Kapan Allah akan mengabulkan doa-doa yang pernah ku panjatkan kepada-Nya?

Terkadang aku mulai lelah untuk meminta lagi, aku juga mulai lelah untuk bersyukur. Yang ku pikirkan adalah, buat apa aku meminta namun tak pernah di berikan oleh Allah apa yang aku minta, lalu untuk apa aku bersyukur jika itu bukan yang aku pinta.

"Sya, ngelamun aja lu,"

Aku bukanlah siswa yang baik seperti image Kak Fauzan di sekolah ini, namun aku juga tidak seburuk yang kalian pikirkan setelah aku bilang bahwa aku bukan siswi yang baik.

Kak Fauzan pernah bersekolah disini juga, namun jarak kami yang cukup jauh membuatku tak di pertemukan oleh Kak Fauzan di satu sekolah. Dan di sekolah inilah, Kak Akrom mendapatkan musibah yang meregang nyawanya.

Kami bertiga memang bersekolah di SMA yang sama, namun jarak kami lah yang membuat kami tak bertemu dalam satu generasi.

Dan, satu hal lagi yang ku benci adalah, ketika ada salah satu guru ataupun orang yang mengenalku dan mengenal Kak Fauzan, dan ia mulai membandingkanku dengan Kak Fauzan, dan itu sangatlah menyakitkan melebihi apapun.

Aku tak pernah menyangka jika Kak Fauzan pernah menjadi turor ekstrakulikuler Rohis di sekolah ini. Bagaimana bisa aku tidak mengetahui kakakku sendiri? Bagaimana bisa aku malah mengetahuinya dari orang yang benar-benar aku kenal?

Terkadang aku bingung dengan sikap kedua kakakku, yang selalu menyembunyikan banyak rahasia dan segala keluh kesahnya sendirian. Terkadang mereka mampu menjadi bahuku untuk bersandar, dan tempatku mengeluarkan semua yang mengganjal di otakku.

Andaikan saja aku adalah orang yang seperti Kak Fauzan dan Kak Akrom.

Mungkin aku bisa saja bangkit sendiri tanpa bantuan orang lain, dan mampu mengobati hatiku yang benar-benar terluka. Tanpa bantuan orang lain pun rasanya hidupku akan biasa saja.

"mbak, sibuk kah?"

Entahlah apa yang mendorongku untuk menyapanya duluan kali ini.

"oh, sini Sya, masuk. Enggak kok gak sibuk."

Secara tiba-tiba saja aku menghampirinya di ruang baca di rumah kami, memang tidak terlalu besar, namun cukup untuk menampung semua buku yang kami bertiga –aku, Kak Akrom, dan Kak Fauzan- beli.

Percaya atau tidak, hobiku adalah membaca, apapun itu, entah fiksi, non-fiksi, ataupun buku pelajaran.

Sengaja, ayah dulu membuatkan kamar kecil untuk kami bertiga mengumpulkan buku-buku, agar tidak berserakan.

"tumben, Sya, ada apa?"

"eh, anu, mbak, aku masih kepo sama cerita kemaren aja tentang Mbak Naya."

"oalah, harusnya sudah mbak duga itu jawaban kamu, hahaha."

"ayolah mbak cerita, jangan bikin Aisyah mati penasaran nih," rengekku, seperti bayi yang meminta permen kesukaannya.

Izinkan Aku Untuk BerubahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang