IAN
Dua hari yang lalu, saya pergi ke sebuah gunung di daerah sumatera. Saya sedang mengerjakan proyek untuk majalah maskapai penerbangan ternama negeri. Sejak lulus kuliah, saya tidak pernah berminat untuk menghabiskan seumur hidup saya dalam kubikel kerja dan hanya mendapat dua hari libur dalam sepekan. Bepergian dan memotret adalah mimpi yang saya sadari. Saya merasa bahagia bahwa dunia ini begitu luas dan saya dapat menjadi mata dan langkah mereka yang tak mampu menempuh potongan surga di dunia.
Saya merasa seperti menyimpan dunia. Dunia orang lain dalam gambar-gambar bisu yang dapat bercerita. Sungai-sungai mulai kering. Musim kemarau seperti tak mengenal akhir, hujan begitu banyak dirindukan oleh orang. Salah satunya, Laika.
Terus terang, saya masih mencari alasan mengapa saya harus melupakannya. Laika, seorang perempuan yang berhasil membuat saya jatuh hati pada setiap senyumnya. Setiap tatap matanya yang terekam dalam kamera. Dia selalu bilang, hujan adalah air mata malaikat yang berjatuhan dari langit. Oleh karena itu, Tuhan tidak ingin kita bersedih, dan harus menyambutnya dengan sukacita dan doa.
Pohon-pohon karet silih berganti menjadi pemandangan perjalanan saya menuju Gunung Kerinci. Orang-orang setempat melihat ke arah saya yang melaju menyisiri jalan tanah berbatu. Udara mulai dingin, saya mengencangkan penutup telinga dan jaket. Kamera saya biarkan tergantung di leher. Sesekali saya membidik dari jendela mobil ke kebun teh yang hijau menyejukkan. Beberapa petani teh dengan topi caping lebar melambai ke arah saya.
Kepergian saya menuju Gunung Kerinci pun bukan tanpa alasan. Selain bekerja, saya ingin melupakan Laika. Lagu Pamit mengalun lembut dari balik earphone. Saya benar-benar ingin pergi, dari masa lalu. Namun Laika seperti telah tumbuh dan mengakar dalam hati. Kenangan bersamanya, ciuman manis di kala hujan dan seduhan cokelat hangatnya saat aku mulai lelah dengan proyek-proyek sampai bagaimana hubungan kami bisa berakhir, semuanya bercampur aduk. Tidak terasa saya sudah tiba di salah satu rumah penduduk untuk tempat saya menginap. Saya disambut oleh sepasang suami istri yang murah senyum. Wajahnya tidak terpengaruh dengan usianya yang mungkin lebih dari setengah abad. Mereka menunjukkan kamar untuk saya beristirahat. Saya pejamkan mata sebentar dan meninggalkan segala keriuhan dunia.
Nada dering telpon genggam saya yang terselip entah di mana, memaksa saya bangun dan mencarinya.
"Ian, kamu ada di mana?" tanya suara dari seberang sana, Gito, salah seorang klien langganan saya.
"Saya sedang di sumatera." jawab saya singkat.
"Wah kamu ngga bilang-bilang mau pergi jauh. Ini ada proyek, tapi redaksi kali ini mau sesuatu yang beda." sahutnya antusias.
Tidak terlalu lama kami membicarakan masalah pekerjaan. Setelah berbicara soal komisi dan tenggat waktu, kami mengakhiri percakapan.
Hari ternyata mulai beranjak pagi. Saya tertidur hingga lupa waktu, perjalanan udara dan darat yang melelahkan badan membuat saya butuh istirahat panjang. Saya harus menyelesaikan pekerjaan hari itu juga dan pulang esok hari.
Pagi manakala matahari mulai naik, saya menyisiri kebun teh dan sesekali melempar senyum kepada gadis pemetik daun teh. Mereka malu-malu untuk membalas. Beberapa kali saya potret, mereka membalik badan. Ah, saya semakin gemas.
Tidak berapa lama saya berjalan, akhirnya saya sampai ke sebuah danau yang menjadi primadona di daerah Kerinci. Saya tidak terlalu suka membawa banyak perlengkapan saat memotret di alam bebas.
Setengah hari saya habiskan di sana, meminum air danau yang diyakini bisa membawa kita kembali ke sana. Keesokan paginya saya berpamitan dengan keluarga yang telah menerima saya dengan baik, perjalanan menuju bandara kurang lebih delapan jam. Dan saya perkirakan sampai ke ibu kota pada malam hari.
Dalam perjalanan pulang, di atas udara, saya berpikir untuk memenuhi permintaan klien. Mereka ingin saya menunjukkan sisi lain dari ibu kota, yang belum pernah diketahui oleh orang banyak. Tentu tidak mungkin saya mencarinya lewat mesin pencari otomatis. Yang muncul pasti hanya tempat-tempat yang sudah dikenal oleh masyarakat luas. Sementara itu wajah Laika muncul di balik jendela pesawat, membuat saya teringat sebuah tempat yang bisa menjadi jawaban atas pertanyaan yang menghantui saya sejak tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karena Jatuh Cinta adalah Patah Hati Yang Termaafkan
RomanceKisah tentang bagaimana Aruna, Ian dan Andra menghadapi patah hati yang melanda mereka.