Bab 11

167 7 2
                                    

Ian

Daun-daun kering taman tersapu angin. Berderik di atas tanah. Saya masih berdiri di hadapan Aruna. Sejenak kami diam.

"Saya merasa tidak seperti orang asing untukmu dan kuharap begitupun sebaliknya."

Aruna menatap langit. Bulu matanya yang lentik sempurna seolah menyapa awan-awan.

"Aku cukup senang ada yang mencariku. Tidak enk rasanya dilupakan. Dan itu mungkin, ya, bisa jadi salah satu alasanku tidak menemui ayah walau dia datang setiap bulan ke sini."

"Maksudmu, kamu anak dari pemilik taman ini?"

Aruna mengangguk pelan. Ia mungkin baru saja membuka rahasia terbesarnya. Tapi ia belum tahu ada rahasia lain yang saya ingin sampaikan. Dan akhirnya saya menyerahkan selembar foto hitam putih bergambar dirinya yang sedang duduk membaca buku. Di balik foto itu saya tuliskan catatan kecil,

'Aku jatuh cinta, sakit, tapi aku menikmatinya seperti patah hati yang sedang bercanda.'

Aruna tersenyum simpul sedangkan saya ada hal yang dengan sendirinya membuat diri kaku dan jantung berdebar lebih daripada biasanya, saat ia mulai merapikan posisi duduknya.

"Ayah mungkin sedikit banyak mirip denganmu, ia selalu mengawasiku tapi tak pernah berani bertemu. Ibu tiriku mungkin masih tak mau menerima aku dan adikku. Ah, aku malah jadi semakin meracau. Seharusnya aku tak menceritakanmu cerita picisan ini."

"Tidak apa, saya hanya mendengarkan."

Saya memasang wajah penuh tanya. Menunggu jawaban. Tapi apakah yang saya berikan padanya itu sebuah pertanyaan?"

"Kamu bisa jatuh cinta lagi kepada seseorang setelah kamu bisa memaafkan patah hati kamu yang sebelumnya. Aku bukan untuk kamu. Aku tahu perempuan yang sedang mengusik pikiranmu, aku mengenal Laika. Dia teman kecilku. Laika masih mencintaimu."

Deg.

Dada saya bergemuruh, "Bukankah dia telah berselingkuh? Untuk apa saya harus memaafkan seseorang yang telah mengkhianati saya?"

"Dan kamu harus menyadari, Laika tahu kamu mengajak wanita-wanita bergincu murah itu ke rumahmu. Aku tidak mau menjadi seseorang yang dapat kau remehkan." ujar Aruna dengan mata berbinar.

"Apakah ini semua karena lelaki tempo hari itu kamu tidak memberikan jawaban kepada saya?"

"Apakah kamu butuh jawaban untuk itu? Sedang kamu tidak bertanya, bukan?" jawab Aruna singkat.

Aruna berdiri dari bangku taman. Ia berjalan menjauh hingga hilang dari pandangan. Tidak ada menoleh ke belakang bahkan tidak mengucap pamit kepada saya. Saya masih berdiri menggenggam selembar foto hitam putih yang bergerak tertiup angin. Daun-daun kering bergesekan dengan tanah, membuat suara derit seperti raungan orang-orang patah hati.

Sesederhana apa pun rasa yang kita miliki untuk seseorang, saat kita merasa dikecewakan, tetap membuat hati tak pernah utuh seperti sedia kala.

Saya pergi, mereka pergi. Lalu siapa yang tetap tinggal? Apakah ada kepergian yang dapat memulangkan kita kembali? Menjadi diri sendiri melawan patah hati yang belum termaafkan?

Karena Jatuh Cinta adalah Patah Hati Yang TermaafkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang